oleh

World 2099 Challenge, Imajinasi Kehidupan Tahun 2099

Karya: Helatini,S.Pd,M.Si

 

AKU baru saja selesai memasak sayur bayam bening kesukaan suami ketika handphone berdering. Nomor tidak dikenal, aku tak berani menjawab panggilan telepon dari nomor tidak dikenal jika tanpa suami disampingku. Si penelepon tidak memperoleh nomor langsung dariku karena nomor tersebut tidak ada dalam daftar kontak. Kembali handphone berbunyi, ada pesan telegram masuk.

“Aku Mida, angkat doong, kangen.”  Aku tak menunggu Mida menghubungiku kembali. Aku langsung menelepon dia, kangen rasanya sudah lama tidak ngobrol dengan sahabatku ketika masih bekerja, sebelum kami sama-sama pensiun dalam waktu hampir bersamaan.

Mida mengisi masa pensiun dengan mengikuti anak tunggalnya di Surabaya. Setahun sebelum pensiun suaminya meninggal dunia. Persahabatan denganku tetap terjalin erat, walaupun hampir lima tahun tak ada berita karena kami sibuk dengan urusan masing-masing.

Kami video call ria. Mida tetap cantik dalam usia enampuluh lima tahun. Kulit wajahnya putih bersih kencang dan bercahaya. Katanya  dia rajin perawatan dengan memakai masker lumpur, dan menggunakan penyegar berbahan dasar air seni yang sudah disterilkan di laboratorium.  Menantu Mida seorang dokter spesialis kecantikan sekaligus pemilik klinik kecantikan ternama di Surabaya.

“Ternyata suamimu masih suka sayur bayam bening, seperti popeye. Aku sudah jarang ke dapur untuk memasak, makanan cukup pesan dari restoran, diantar Smartkuliner” Mida mencandaiku.

“Aku masih memasak secara manual dengan tanganku sendiri. Hasilnya sangat enak karena dalam setiap masakan aku membubuhi dengan cinta dan kasih sayang juga doa. Nanti aku kirim kamu pepes mujair atau setup belalang sawah, Mid. Dengan Super Flaying, lima belas menit sampai ke tempatmu, lebih cepat daripada lari Si Smartkuliner.” Kami sama-sama tertawa.  Rasa kangen terobati, kami berjanji untuk saling mengabari. Aku juga berjanji untuk mengunjunginya, sekalian ingin tahu lebih banyak tentang treatment kecantikan di klinik menantu Mida.

Aku dan suami, kurang suka makanan siap saji, atau makanan produk restoran. Seenak atau semahal apapun makanan restoran , makanan tradisional yang kami kenal dari otangtua dulu tetap lebih enak dan pas di lidah. Pada waktu tertentu saja aku pesan makanan atau makan di restoran,  jika tak sempat memasak atau ingin sesuatu yang baru. Smartkuliner bisa mengantarkan makanan yang dipesan dari restoran manapun. Robot canggih itu bisa mendeteksi alamat pemesan dengan akurat walau masuk gang sempit sekalipun.

Lima menit setelah aku mengakhiri percakapan dengan Mida, suamiku datang. Aku menyambutnya dengan senang dan bahagia, dia kembali dengan selamat. Suamiku pergi selama dua hari untuk  mengontrol perkebunan kacang tanah di daerah Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya. Aku tetap khawatir jika dia keluar rumah. Dia pergi menyetir mobil sendiri. Harusnya dia diantar sopir, tapi dia bilang sendiri lebih nyaman.

Aku terpaksa tidak menemaninya, ada jadwal pengajian bulanan ibu-ibu di rumah. Acara pengajian bagiku merupakan kesempatan berharga untuk menjalin silaturahmi dengan tetangga yang semakin hari semakin sulit untuk bertemu karena padatnya kesibukan.  Untuk melihat tetangga saja sangat sulit, mereka keluar rumah sejak pagi dan pulang malam hari. Orang-orang yang tidak memiliki aktivitas di luar rumah, yang sudah pensiun atau ibu rumah tangga lebih senang berdim diri di dalam rumah melakukan kegiatan produktif atau menyalurkan bakat minat dan hoby masing-masing. Tak ada lagi ibu-ibu yang mengerumuni tukang sayur sambil ngerumpi, tak ada lagi bapak-bapak yang berkumpul di pos kamling untuk bersilaturahmi sambil makan nasi liwet atau sekedar minum kopi. Semua serba tertutup dan eksklusif.

Rumah-rumah berdiri kokoh dengan pagar tembok tinggi yang tak kalah kokoh. Setiap rumah dipasangi AC, CCTV dan peredam suara. Tak ada lagi  alunan musik klasik atau riuh lagu dangdut yang terdengar dari rumah tetangga. Komplek perumahan sepi siang dan malam hari. Tinggallah bangunan berderet yang hanya dihuni oleh pemiliknya saja. Jarang terlihat ada tamu, karena setiap tamu yang datang tidak lagi ke rumah tapi ke hotel atau tempat lain yang telah disepakati.

Aku menceritakan tentang Mida kepada suami. Aku sangat senang karena suami menyetujui untuk pergi ke Surabaya menemui Mida. Kami sepakat untuk menggunakan Flaying Car pribadi yang dibelikan Annisa, anak sulungku  yang tinggal di Negara Kincir Angin. Dia mendampingi suaminya yang bekerja di KBRI. Flaying Car itu adalah hadiah bagiku karena memasuki masa pensiun dari jabatan Kepala Sekolah. Annisa ingin agar aku bisa pergi kemana-mana tanpa terjebak kemacetan.

Mobil terbang itu merupakan  moda transportasi dalam negeri untuk mencegah kemacetan. Flaying Car bebas dimiliki secara perorangan seperti halnya kita memiliki mobil, dengan syarat digunakan oleh pemilik lisensi FCD (Flaying Car Driver). JIka naik pesawat, kami harus mengikuti prosedur dan memakan waktu untuk pergi ke bandara. Dengan Flaying Car, waktu lebih efektif dan nyaman selama perjalanan.

Suamiku sudah mahir mengendarai mobil terbang, kami tak perlu menyewa jasa pengemudi. Katanya lebih mudah daripada menerbangkan pesawat. Aku percaya, suamiku adalah seorang pilot yang memutuskan untuk berhenti bekerja karena lebih tertarik untuk berwiraswasta, mengisi masa tua.

Aku mengisi masa pensiunku dengan mendampingi suami mengurus perkebunan kacang tanah. Aku juga masih menulis puisi untuk mengaktualisasikan ide-ide yang memenuhi otakku. Dengan menulis, otak tetap bekerja, jari-jari tangan tetap dilatih, hati dan emosi dikelola dengan cerdas. Aku tak ingin menjadi pikun lebih cepat gara-gara tak ada aktivitas yang berarti.

Beberapa pesanan puisi untuk dibacakan dalam acara tertentu atau sebagai bahan pelajaran di sekolah, tetap kulayani. Gratis. Aku ingin terus memberikan ilmu dan karya dari hari ke hari tanpa henti kecuali aku mati. Suamiku terus memberi semangat, anak-anakku juga. Annisa, Dwipa dan Tria. Mereka malah bangga ibunya menjadi penyair. Kata mereka penyair itu romantis dan cintanya teramat indah. Setiap anak-anakku berulang tahun, aku menghadiahinya dengan kumpulan puisi, yang berisi cinta dan doa-doa terindah. Doa seorang ibu tentu mustajab.

Kepada mereka selalu kuingatkan bahwa kehidupan modern dan kemajuan zaman yang canggih, tatanan kehidupan serba bebas dan mobilitas yang tinggi, sangat memerlukan agama sebagai pedoman. Annisa tinggal di Amsterdam, Dwipa tinggal di Tokyo, Tria tinggal di New York, ribuan mil dari orangtua dan keluarga. Cinta kami tersebar di tiga benua. Aku merelakan ketiga anak perempuanku untuk mengikuti suaminya masing-masing. Jarak tak terasa jauh karena setiap saat dengan sangat mudah dapat berkomunikasi saling bertatap muka. Peran satelit sangat membantu. Aku dan suami sedang berpikir untuk memiliki satelit pribadi supaya lebih mudah, nyaman dan leluasa berkomunikasi dengan anak-anak yang tinggal di tiga benua berbeda.

Zaman boleh berubah, manusia pasti melakoni cara bergaul yang berbeda dari masa ke masa. Di luar negeri, kehidupan lebih individualis. Tetapi di mana pun kita hidup, keimanan dan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wataala, harus mendapat prioritas utama untuk dilaksanakan dan ditingkatkan. Sehebat apapun manusia di dunia, tempat kembali hanya kepada Allah. Siapakah yang akan melindungi dan dijadikan tempat bergantung selain Allah, Tuhan yang Maha Pengasih.

Begitulah selalu nasihat kepada anak-anakku. Dengan status sebagai seorang istri yang berada dalam kekuasaan suaminya, orangtua tetap bertanggng jawab terhadap keselamatan anak-anaknya. Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa.

 

Penulis:

Helatini, S.Pd., M.Si

Kepala SDN Karangtengah

(Guru Inspiratif versi Gerakan Menulis Buku Indonesia, Kepala Sekolah Berprestasi Tingkat Kota Tasikmalaya tahun 2019)