oleh

Yusril Ihza Mahendra : “BAWASLU Jakarta Pusat Tidak Berwenang Menilai Ada Tidaknya Pelanggaran Terhadap Pergub DKI Tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB)”

JAKARTA — Ketua Tim Pembela Prabowo Gibran,   Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc  mengatakan bahwa Bawaslu Jakarta Pusat tidak berwenang menilai ada atau tidak adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan di luar penyelenggaraan Pemilu. Sebagaimana diberitakan, Cawapres Gibran Rakabuming Raka dilaporan telah melakukan pelanggaran pidana Pemilu yang dilakukan di sepanjang jalan yang dinyatakan sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor (HBKB). Bawaslu Jakarta Pusat kemudian memanggil pelapor dan Gibran untuk melakukan pemeriksaan.

Namun harus disadari bahwa lembaga pengawas Pemilu itu hanyalah berwenang memeriksa terjadi pelanggaran pidana Pemilu atau tidak sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan pidana Pemilu. Kalau ada, maka dugaan pidana itu diteruskan kepada ke Gakumdu. Kalau tidak terjadi pelanggaran, maka pemeriksaan dinyatakan selesai. Namun yang terjadi adalah Bawaslu Jakarta Pusat “memutuskan Gibran Langgar Aturan CFD Soal Bagi Susu Gratis” (Detik.com dan CNN Indonesia 4/1/2024).

Bawaslu Jakarta Pusat tidak berwenang memutuskan ada pelanggaran, tetapi bukan pelanggaran pidana Pemilu, yang mereka kualifikasi sebagai “pelanggaran lain-lain”, termasuk Aturan CFD yang  termaktub dalam Pergub DKI No. 12 Tahun 2016 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Yusril menegaskan dia berulang-ulang membaca Pergub DKI Jakarta itu dan samasekali tidak menemukan pengaturan bersifat pidana, baik kejahatan maupun pelanggaran beserta sanksinya.

Pasal 7 ayat (1) Pergub DKI itu memang menyebutkan bahwa pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor yang ditetapkan, kegiatan yang dapat dimanfaatkan adalah kegiatan yang bertema lingkungan hidup, olah raga serta seni dan budaya. Sedangkan ayat (2) menyatakan “HBKB tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik dan SARA serta orasi ajakan yang bersifat menghasut”. Namun siapa yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta apa sanksinya, Pergub ini samasekali tidak mengaturnya.

Sementara Pasal 13 Pergub DKI ini hanya mengatur tugas SKPD dan UKPD terkait, antara lain menyebutkan (1) Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta bertugas melakukan “pengawasan dan pengendalian kegiatan terhadap Ormas dan LSM yang melakukan kegiatan untuk kepentingan partai politik dan SARA” dan “orasi yang bersifat menghasut”. (2) Satuan Pamong Praja Kota Administrasi bertugas antara lain “melakukan penjagaan, pengamanan dan pembinaan ketertiban umum serta penertiban terhadap pelanggaran yang terjadi selama pelaksanaan HBKB”.

Kewenangan yang diberikan kepada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI serta Satuan Pamong Praja berdasarkan Pergub DKI No 12 Tahun 2016 itu yang terkait dengan pelaksanaan HBKB lebih banyak bersifat persuasif, bukan langkah penegakan hukum seperti melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kewenangan mereka hanya di lapangan, kalau terjadi pelanggaran, maka mereka bertugas “menertibkan”, bukan mengambil langkah hukum seperti penyelidikan dan penyidikan yang menjadi kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipill (PPNS) Daerah.

Patut pula Bawaslu Jakpus ketahui bahwa Peraturan Gubernur (Pergub) dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi. Peraturan Gubernur tidak boleh mencantumkan sanksi pidana apapun. Kalau ada sanksi demikian, hal itu jelas melanggar prinsip negara hukum yang berasaskan kedaulatan rakyat. Andaipun peraturan tingkat daerah memandang perlu memberikan sanksi pidana, sanksi semacam itu harus dituangkan dalam Perda Provinsi yang dibuat bersama antara Gubernur dengan DPRD, bukan dalam Pergub. Sanksi pidana dalam Perda itupun hanya boleh mencantumkan denda atau kurungan maksimal 6 bulan.

Berdasarkan telaah terhadap Pergub DKI Nomor 12 Tahun 2016 itu, maka sangat mengherankan jika Bawaslu Jakarta Pusat merasa dirinya berwenang memutuskan Gibran membagi-bagikan susu di HBKB sebagai “pelanggaran hukum”, sementara Pergub DKI itu samasekali tidak berisikan suatu norma hukum yang disertai dengan sanksi apapun, melainkan aturan-aturan yang bersifat persuasif  dan paling jauh hanya bercorak “penertiban” belaka.

Kesimpulan yang diambil Bawaslu DKI telah bukan saja tidak profesional, tetapi juga tidak proporsional serta melampaui tugas dan kewenangannya. “Ini bisa dianggap sebagai pelanggaran etik yang patut diperhatikan oleh Bawaslu Jakarta Pusat. Sebab jika ada pihak yang melaporkan adanya dugaan pelanggaran etik, bukan mustahil para anggota Bawaslu Jakpus itu akan diperiksa oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP” tegas Yusril.

Pihak Gibran sejauh ini belum akan mengambil langkah apapun terhadap Bawaslu Jakarta Pusat, kecuali menghimbau agar lembaga pengawas Pemilu itu jangan “over acting” dalam melakukan tugas sesuai kewenangannya.

Pada hemat Yusril, Bawaslu Jakarta Pusat akan terlihat lebih bijak dan profesional jika menyimpulkan bahwa setelah melakukan pemeriksaan yang seksama, Bawaslu Jakarta Pusat menyimpulkan tidak ada pelanggaran pidana Pemilu yang dilakukan Gibran pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Jakarta Pusat. Bahwa jika ada pihak-pihak yang menganggap Gibran melakukan pelanggaran terhadap Pergub DKI  Jakarta  Nomor 12 Tahun 2016, maka Bawaslu Jakarta Pusat tidak berwenang menilai hal tersbut karena bukan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya apakah Pemda DKI akan mengambil langkah penertiban atau langkah hukum atas dugaan pelanggaran tersebut, Bawaslu Jakpus  menyerahkan sepenuhnya kepada Pemda DKI. “Kalau seperti itu sikap Bawaslu Jakarta Pusat, maka saya acungkan jempol, karena mereka bekerja secara profesional dan tidak terkesan mencari sensasi dan popularitas” kata Yusril mengakhiri keterangannya.. (R3D1)***