oleh

Belajar Dari Sang Dewan

Oleh: Nana Suryana *

(Dosen IAILM Suryalaya Tasikmalaya)

PADA saat belajar mata pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah, guru pasti akan menjelaskan tentang hirarki sumber hukum di Indonesia. Salah satu materi penting adalah bahwa Pancasila menjadi sumber hukum pertama dan utama dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pancasila menduduki posisi urutan paling atas dibanding sumber lain (UU, Perpu, Kepres, Perpres, Pergub, Perda, dan lainnya). Segala produk hukum yang ada harus menginduk serta mengacu pada Pancasila. Hal ini menguatkan pendapat semua hukum yang ada di negeri ini harus dilandasi nilai-nilai Pancasila.

Suatu hari di tempat kerja, seperti biasa sebelum saya memulai menyalakan komputer dan mengerjakan tugas rutin, saya berkesempatan membaca sebuah tulisan di satu surat kabar dengan judul ‘’Terapkan Nilai-Nilai Pancasila di Masa Pademi’’. Saya percaya sebuah judul dalam tulisan merupakan ringkasan/rangkuman dari narasi-narasi yang ada dalam tulisan tersebut.

Judul itu memaksa menarik pikiran saya untuk mencoba membacanya. Lalu saya membaca dan menelaah apa pesan yang disampaikan dalam tulisan itu. Selepas membaca, saya menemukan sesuatu yang menarik dan nampaknya bisa menjadi pelajaran.  Menarik bukan karena bentuk kegiatannya dikemas dalam sosialisasi empat pilar kebangasan (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945), melainkan pernyataan sekaligus ajakan sang tokoh public figure kepada masyarakat sebagai audien dalam kegitan itu. Perhatikan pernyatannya. “Di tengah-tengah pademi Covid-19 masyarakat harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Hanya dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila kita bisa bersama melawan virus corona, peduli terhadap sesama, karena bagian penting dalam mengamlkan Pancasila”.

Pernyataan dan ajakan tersebut agak sedikit mengganggu pikiran saya. Pertama, isi pernyataan “Di tengah-tengah pademi Covid-19 masyarakat harus bisa mengimplelemtasikan nilai-nilai Pancasila”. Yang menggangu adalah kalimat ‘’Di tengah-tengah pademi Covid-19…’’ Kalimat berikutnya kurang begitu saya perhatian karena bersifat normatif. Justru kalimat “Ditengah-tengah pademi Covid-19 ini terasa begitu kurang pas, kenapa? Karena mengimplemenatsikan nilai-nilai Pancasila sejatinya harus mampu diimplementsikan setiap warga negara dalam berbagai lini kehidupan setiap hari, tanpa bergantung sistuasi dan kondisi, tidak dibatasi ruang dan waktu. Kekhawatiran bagi saya berikutnya,  dari kalimat ini memunculkan tafsir yang berbeda dari penerima pesan (masyarakat), misalnya bahwa di luar masa pademi Covid-19 masyarakat tidak harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Sekali lagi ini hanya kekhawatiran. Hal ini menjadi penting untuk didiskusikan. Itu sebenarnya point pentingnya.

Pemahaman dan keyakinan pentingnya implementasi nilai-nilai Pancasila tidak dibatasi ruang dan waktu akan menjadi pintu masuk (starting ponit) pada tahapan implementasi berikutnya. Kalau pemahaman serta keyakinan saja masih belum sama bahkan keliru, bisa dibayangkan bagaimana pada tahapan implementasinya. Saya jadi menduga-duga jangan-jangan banyaknya diantara kita yang tidak mampu mengimplementsikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari karena pemahaman dan keyainkan yang masih keliru. Faktanya masih banyak yang belum mengamalkan ajaran agama secara benar dan istiqomah; masih banyak yang belum bersikap serta bertindak dilandasi nilai kemanusiaan dan peradaban; di lingkungan masyarakat masih banyak terjadi gontok-gontokan hanya gara-gara beda pilihan dalam pilpres/pilkada; masih ada pejabat publik yang memutuskan sebuah kebijakan secara otoriter, tidak bersikap hikmah, tidak melibatkan masyarakat; serta belum terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua situasi dan kondisi. Pernyataan/ajakan itu dilontarkan pada situasi dan kondisi menurut saya kurang pas. Mengapa? Kita paham bahwa salah satu tugas DPR adalah legalisasi hukum dan peraturan perundang-undangan.  Ajakan kepada masyarakat dirasa berbading terbaik (paradoks) dengan situasi yang sedang terjadi di gedung dewan (DPR) saat ini.

Seperti diberitakan,  saat ini anggota dewan bersama eksekutif sedang membahas satu Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP). RUU HIP tersebut menuai banyak kritik dan penolakan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari organsiasi kemasyarakatan (NU dan Muhamadiyah misalnya), Majlis Ulama Indonesia, Perguruan Tinggi, sampai masyarakat. Mereka mengkritisi bahkan menolak teradap RUU tersebut. Ada juga yang meminta pembahsan RUU HIP dibatalkan. Penolakan itu bukan tidak berasalan. Banyak alasan yang disampikan termasuk alasan yuridis, historis, bahkan akademik. Terhadap arus penolakan itu tentu ada yang pro dan adapula yang kontra. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD), La Nyalla Mahmud misalnya menilai penolakan itu sangat wajar. Menurutnya penolakan terhadap iRUU HIP dinggap sangat wajar. “Pancasila sudah final dan tidak bisa diperas lagi dalam pemaknaan Trisila atau Ekasila, tegasnya. Pertanayaan kemudian seberapa penting ajakan mengimplentasikan nilai-nilai Pancasila di Masa Pandemi dan dalam kondisi masyarakat sedang menyuarakan penolakan?. Wallau alam.

BDKH Kunci Suskes Menyampaikan Pesan

Dalam teori komunikasi pendidikan, agar materi/pesan yang disampaikan guru kepada peserta didik (penerima pesan) berjalan efektif, efisien, dan mudah dipahami, guru bias menerapkan rumus BDHK. Apa itu BDHK? BDHK singkatan dari B : Badan atau Perfomence Guru). Sebelum kita menyampaikan pesan/materi di depan kelas kepada peserta didik seyogyanya kita memperhatikan badan/performance. Perfomance tidak sebatas diartikan penampilan dalam konteks pakaian melainkan segala sesuatu yang dilihat oleh peserta didik. Bisa perilaku, tindakan, ucapan yang dilakukan guru harus menjadi contoh bagi peserta didik. Ingat guru adalah public figure.  Guru, digugu dan ditiru.

D : Dunia (keseharian anak, historikal, latar belakang hidup/cara hidup/belajar). Dalam menyampaikan materi/pesan, guru harus memperhatikan situasi dan kondisi peserta didik. Baik dari kesiapan secara pisik maupun psikis. Guru yang baik adalah guru yang mampu menyampaikan materi/pesan sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang dimiliki masing peserta didik (differensiasi individual). K : Komunikasi (bahasa yang digunakan). Sebuah materi/pesan akan mudah dipahami peserta didik/penerima pesan ketika bahasa yang digunakan guru/pemberi pesan mudah dipahami. Bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit, dan fokus pada materi akan memudahkan peserta didik menangkap pesannya. Kalaulah rumus ini bisa diimplementasikan maka insya Allah maetri/pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan jelas oleh penerima pesan. Inilah pelajaran yang bisa kita ambil dari sang dewan. Wallahu alam.