DIBANDINGKAN dengan Panembahan Senopati dan Sultan Agung kehidupan Amangkurat Agung dengan dua permaisurinya jarang dipernincangkan dalam panggung sejarah. Yang sering muncul justru kisah Ratu Mas Malang istri Dalang Panjang Mas dan Rara Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya dengan kisahnya yg tragis dan memilukan. Makam Gunung Kelir dan Banyusumurup menjadi saksi bisu atas tragedi kelam keduanya yang terus menyimpan aura kesedihan sampai detik ini.
Walaupun diwarnai kesepian batin di awakhir kehidupannya, Amangkurat Agung (1645-1677) sebenarnya mempunyai kehidupan yang bersemangat di awal kehidupannya dengan dua orang permaisuri yg sangat menonjol dan berpengaruh dalam menopang perjalanan karir sang Raja. Keduanya adalah Kanjeng Ratu Mas putri Pangeran Pekik sebagai Ratu Kulon dari trah Surabaya yang berputra Raden Mas Rahmat dan Kanjeng Ratu Kencana putri dari Pangeran Kajoran (Panembahan Rama) dari trah Kajoran sebagai Ratu Wetan yang berputra Raden Mas Drajat.
Yang cukup mengejutkan, keduanya masih mempunyai garis keturunan yang sama dari Sunan Ampel. Ratu Mas (Ratu Kulon) merupakan putri Raden Pekik putra Adipati Surabaya Panji Jayalengkara putra Panji Wiryakrama Adipati Surabaya putra Pangeran Trenggana Adipati Surabaya putra Raden Qasim Syarifudin Sunan Drajat Paciran Lamongan putra Raden Rahmat (Sunan Ampel). Pangeran Pekik menikah dengan Ratu Pandan Sari adik Sultan Agung. Sedang putrinya menikah dengan Amangkurat Agung. Pangeran Pekik telah berjasa besar menundukkan Panembahan Ageng Giri di Giri Kedhaton.
Adapun Ratu Kencana (Ratu Wetan) adalah putri Panembahan Rama putra Pangeran Raden Kajoran putra Pangeran Sinduseno putra Pangeran Benowo Pajang. Pangeran Raden Kajoran adalah menantu Panembahan Agung ing Kajoran putra Sayid Kalkum Wotgaleh (menantu Batara Katong) putra Sayyid Maulana Hamzah (Pangeran Lamongan/Tumapel) putra Sunan Ampel). Trah Kajoran ini mempunyai kedudukan terhormat karena terkumpul didalamnya trah Giring, Trah Pajang, Trah Tembayat, Trah Ponorogo dan trah Mataram.
Adalah Panembahan Agung ing Kajoran pendiri wangsa Kajoran menikah dengan 3 orang istri:
1. Nyi Ageng Panembahan Agung putri Sunan Tembayat
2. Nyi Ageng Biting, janda Ki Ageng Biting dari Pajang juga putri Sunan Tembayat
3. Rara Subur mantan istri adipati Loano putri Ki Ageng Pemanahan.
Sunan Tembayat juga menikahkan putrinya yang lain dengan Ki Ageng Giring II RM. Tambakbaya menurunkan Ki Ageng Giring III RM. Kertonadi menurunkan Rara Lembayung menurunkan Pangeran Purbaya I menurunkan Pangeran Purbaya II menurunkan R.Ay Kajoran istri Panembahan Rama menurunkan Raden Mas Drajat Pangeran Puger (PB I)
Panembahan Agung Kajoran putra Panembahan Agung Ponorogo mempunyai 2 putri:
1. Putri pertama menikah dengan Pangeran Sindusena putra Pangeran Benawa menurunkan Pangeran Raden ing Kajoran
2. Putri kedua Nyai Riyo Suwanda menikah dengan Panembahan Senopati Mataram menurunkan:
a. Pangeran Jayaraga ( Mas Barthotot) b. Pangeran Harya Menggala.
Pangeran Jayaraga yang sempat memberontak Panembahan Hanyakrawati berhasil diatasi oleh Pangeran Pringgalaya, Tumenggung Mertalaya dan Tumenggung Rangga Wicitra. Pangeran Jayaraga bergelar Pangeran Jayanegara, Adipati Gadingrejo (Ponorogo) dimakamkan di Tumpak Swangon di kaki gunung Loreng Slahung Ponorogo. Beliau berputra Kyai Kasan Buntoro berputra Kyai Nursalim, dimana putrinya menikah dengan Ki Ageng Muhammad Besari, pendiri Pesantren Tegalsari. Salah satu keturunan beliau kelak adalah HOS. Cokroaminoto ayah idelogis Bung Karno.
Adalah Panembahan Senopati yang menikah dengan Niken Purwosari Rara Lembayung putri Ki Ageng Giring III menurunkan 2 anak:
1. Pangeran Purbaya
2. Raden Ayu Wangsacipta dinikahi oleh putra dari Panembahan Agung Kajoran yang bernama Pangeran Raden ing Kajoran yang menurunkan:
1. Panembahan Rama ayah dari Ratu Kencana istri Amangkurat Agung (Ratu Wetan)
Panembahan Senopati adalah menantu sekaligus besan dari Panembahan Agung Kajoran karena menikahi putrinya yaitu Nyai Riyo Suwanda dan putrinya Raden Ayu Wangsacipta menikah dengan putra beliau yaitu Pangeran Raden ing Kajoran. Jadi Panembahan Senopati merupakan mertua dari Pangeran Raden ing Kajoran dan kakek dari Panembahan Rama yang merupakan ayah mertua dari Amangkurat Agung.
Permaisuri pertama Amangkurat Agung adalah Ratu Surabaya yg merupakan putri Pangeran Pekik dengan Ratu Pandansari, adik kandung Sultan Agung. Ratu Surabaya mempunyai nama kecil Raden Ajeng Siti Komariah atau Nini Sara. Ia lahir dan besar di Surabaya, maka disebut Kanjeng Ratu Surabaya. Sebagai putri yg cakap dalam usaha ia diberi kepercayaan dalam urusan niaga di pelabuhan Perak Surabaya. Kelak putranya Raden Rahmat dikenal sebagai Amangkurat ll atau Amangkurat Admiral atau Amral gelar Laksamana Eropa karena lebih suka berpakaian ala angkatan laut Eropa sebagai pakaian kebesarannya.
Kanjeng Ratu Mas Surabaya dinikahkan dengan Amangkurat Agung pada 1644 setahun sebelum dinobatkan sebagai Raja Mataram pada 1645. Sebelumnya RM Sayyidin (Amangkurat Agung) di usia 18 tahun sempat digeser dari kedudukan sebagai putra mahkota akibat skandal cinta dg salah satu selir kesayangan Tumenggung Wiraguna dari Lasem ketika sang Patih sedang diutus ke Banten. Tetapi ibunda Amangkurat Agung (Ratu Batang) sebagai Ratu Wetan berhasil menggeser Ratu Kulon dari Cirebon sebagai permaisuri utama. Secara otomatis Raden Mas Sayyidin pun menggeser Raden Mas Syahwawrat (Pangeran Alit) sebagai putra mahkota
Ketika Raden Mas Sayyidin menjabat Raja Mataram pada 1645, usaha yang pertama dilakukan adalah memindahkan istana Mataram dari kraton Kerto di sebelah utara tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong ke istana Plered yang terbuat dari batu bata yg megah dengan dikelilingi air dan danau buatan di sebelah tenggara, Segoroyoso. Istana Sultan Agung (1614-1622) yang terbuat dari bahan kayu jati dengan ukiran khas Bali dan berdiri diatas umpak batu terbukti sangat rawan terbakar.
Ratu Mas Surabaya dan Pangeran Pekik dengan dukungan para saudagar Surabaya, Madura dan Makassar mendukung dan membantu penuh perpindahan ibukota dari Kerto ke Plered. Tercatat dalam Laporan Harian Belanda (Daghregister) 7 Juli 1659, ketika Amangkut Agung membangun danau buatan Segarayasa disebelah tenggara, Amangkurat Agung sering mengunjunginya bersama sang permaisuri Ratu Mas Surabaya untuk memantau pembangunannya.
Begitupun ketika pada 1661, Amangkurat Agung membangun kolam disekeliling istana yang menjadikan istananya bagai pulau di tengah danau, Ratu Mas Surabaya selalu mendampinginya. Dalam pekerjaan kali ini laporan harian Belanda (Daghregister) 12 Septembar 1661 menyebutkan pekerja yg terlibat mencapai 300.000 orang dari wilayah pesisir dan macanegara, terkhusus dari Karawang sehingga mengakibatkan wilayah Karawang kekurangan tenaga pengolah pertanian dan mengakibatkan gagal panen.
Pembangunan kolam-kolam dan parit besar yang mengelingi istana Plered diceritakan oleh seorang utusan dari tanah seberang, Abraham Verspreet, yang berkunjung ke Plered pada 16 Oktober 1668 yang mengatakan bahwa ia harus melalui jembatan yang membentang di atas parit yang mengelilingi istana sebelum ia sampai di alun-alun (H.J. De Graaf, 1987, hlm. 15).
Dari pernikahan Amangkurat dengan Kanjeng Ratu Mas Surabaya terlahir Raden Mas Rahmat Abdullah yang sering dipanggil dengan Raden Rahmat Kuning. Ia lahir dan besar dalam asuhan kakeknya Pangeran Pekik di Surabaya setelah Ratu Mas Surabaya wafat pada 1652 ketika putranya masih berusia 6 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Pajimatan Imogiri. Posisinya sebagai permaisuri digantikan oleh Ratu Mas Wiratsari dari trah Kajoran. Kelak Raden Mas Rahmat kemudian pindah ke istana Plered sebagai Adipati Anom.
Amangkurat II yang dikenal dg sebutan Amangkurat Amral ini adalah sosok yang telah berhasi menumpas perlawanan Trunajaya dan membunuhnya serta para pendukungnya di Giri Kedhaton yang dipimpin oleh Pangeran Singasari serta Panembahan Rama yang tidak bisa diatasi oleh ayahnya Amangkurat Agung. Amangkurat Amral dimakamkan persis dibawah sisi selatan Sultan Agung. Sedang ibunya Ratu Surabaya ada dibelakangnya bersanpingan dengan istri Raden Rangga Pati dan Ratu Pandansari istri Pangeran Pekik.
Panembahan Rama Kajoran menikah dengan putri dari Pangeran Purubaya II yang wafat di dusun Godog Tuban pada 1676 menurunkan:
1. Ratu Mas Wiratsari menikah dg Amangkurat Agung
2. Seorang putri diperistri oleh Pangeran Trunajaya
3. Seorang putri diperistri oleh Adipati Wiramenggala
Raden Ajeng Wiratsari menikah dengan Amangkurat Agung pada 1646, satu tahun setelah penobatannya sebagai Sultan pada 1645. Ayahnya, Panembahan Rama memberi bekal sangu emas sebanyak 7 gerobak. Harta sumbangan untuk pembangunan Keraton Plered.
Raden Ayu Wiratsari lahir dan besar di daerah Banyumanik Semarang sehingga dikenal dengan sebutan Ratu Mas Semarang. Ia dikenal sebagai putri yang cakap dalam hal ihwal perdagangan di Semarang sejak dari gamping, kayu jati, hasil kerajinan, perahu, pelayaran dan pelabuhan dan dikemudian hari dikenal sebagai Ratu Mas Pelabuhan/Labuhan yg merupakan ibu kandung dari Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I, leluhur Trah Catur Sagotra Mataram.
Ratu Labuhan telah berjasa besar
membangun daerah pesisir, mulai dari Jepara, Demak, Semarang, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes meneruskan jejak ibu mertuanya Ratu Mas Batang yang juga berusaha memajukan daerah pantura ketika menggantikan sang ayah Tumenggung Upasanta yang diperintah Sultan Agung untuk menyerang Batavia pada tahun 1628.
Kadipaten Onje (Purbalingga) kala itu telah masuk wilayah kekuasaan Mataram dibawah pemerintahan Adipati Onje IV (1642-1659). Ratu Mas Labuhan memerintahkan kepada Adipati Onje IV untuk membangun Pesanggrahan Purwo Arum di Mrebet. Adapun Tumenggung Yudanegara dari Banyumas diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Puja Retna di Batur Raden di kaki gunung Slamet yg tidak jauh dari desa Lesmana Ajibarang tempat bertugas Ratu Labuhan.
Ratu Labuhan meninggal sewaktu terjadi pemberontakan Trunajaya pada 1677 yang menghancurkan Kraton Plered. Jenazah dimakamkan dibelakang reruntuhan Masjid Agung Kraton Plered. Dikisahkan ketika hendak diberangkatkan ke makam Pajimatan Imogiri, puluhan prajurit yang mengangkat jenazahnya tidak ada yang kuat. Salah seorang abdi kinasih beliau yang bernama Kyai Rawit memberitahukan bahwa Ratu Labuhan sewaktu masih hidup pernah berpesan bila sewaktu-waktu meninggal hendaknya dimakamkan ditempat wafatnya, bukan di tempat lain. (BERBAGAI SUMBER)***