oleh

Inilah Pentingnya “Sanad dan Ijazah” Dalam Proses Penerimaan Keilmuan

Oleh: Abah Yai Murobbi Ruhina Al-Ustadz Ruyatman Permana,  S.Pd.,C.H.,C.SEFH.,C.Ht.,C.M.,C.Mh Al-Bantani (Pimpinan Ponpes Salafi Riyadhoh Kalam Syifa Banten) 083819339450

SANAD adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.Jadi, dalam sanad ini terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.

Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.

IJAZAH

Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.

Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.

Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Su yuthi dalam kitab Tadribur Rawi,mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.

Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.

Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.

Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu.

Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat).Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.

Ijazah adalah izin, sebagaimana adabnya seorang murid tidak mencuri buku gurunya sebelum diperbolehkan dan diizinkan, maka itu disebut ijazah, misalnya gurunya membuat sebuah doa, maka doa itu akan lebih afdhal jika yg membacanya sdh terlebih dulu mendapat izin dari pembuatnya.

Jika pembuat doa telah wafat, maka izin /ijazah diminta pada murid almarhum yg sudah diizinkan gurunya (sudah mendapat ijazah dar gurunya). atau jika muridnya telah wafat maka murid dari muridnya, dst.Hal ini sekedar ikatan ruh kita dg pembuat doa, termasuk pula sunnah Nabi saw, kita mengambil ijazahnya atas perbuatan beliau saw, maka kita tidak mencuri ilmu, namun sudah mendapat izin dan ada hubungan ruh kepada ujung rantainya.

Namun kebanyakan para shalihin dan lebih lagi sunnah Nabi Muhammad SAW tidak perlu pakai ijazah, karena mereka sudah mengizinkan siapapun melakukannya/mengamalkannya, namun tentunya dengan ijazah lebih afdhal.

Saya mempermudah ijazah karena tidak berani mempersulit nya, bagaimana orang ingin dekat pada Allah dan para shalihin lalu saya mempersulit nya?, apalagi minta uang bayaran, tidak ada hak minta uang bayaran karena doa itu bukan miliknya, dan doa bukanlah layaknya hal yg diperjual belikan.Saya diajari guru mulia kita demikian, untuk tidak kikir terhadap ijazah, karena dengan menyambung kan hubungan ruh dari ummat ini kepada para shalihin, para ulama dan Nabi saw maka itu adalah pahala besar, dan merupakan dosa besar bagi mereka yg mempersulit nya.

Ijazah adalah hubungan sanad, yaitu hubungan hati dengan Rasul saw atau para ulama yg membuat suatu doa.misalnya Imam Nawawi membuat doa, maka boleh saja siapapun membacanya, namun tentu akan lebih afdhal jika yg membaca itu punya hubungan dengan Imam Nawawi, ia dikenal oleh Imam Nawawi, maka itu yg disebut sanad, jika Imam Nawawi sudah wafat, maka bagaimana caranya mendapat keberkahan doa imam nawawi ini..?. maka kita izin pada muridnya, karena muridnya inilah yg punya hubungan dengan imam nawawi,

Jika tak ada muridnya maka murid dari muridnya, nah.. izin dan restu ini disebut ijazah, dan demikian sampai kini kita boleh saja mengamalkan semua doa, namun alangkah baiknya jika minta restu dulu pada orang yg punya hubungan dengan pembuat doa tsb, maka minta restu ini disebut ijazah.

Alqur’an dan sunnah tidak perlu minta restu lagi karena sudah perintah Allah dan Rasul saw pada kita, namun tentunya jika ada restu dari orang yg punya ijazah pula sampai bersambung pada Rasul saw, maka afdhal.

Adab Pemberian Ijazah

Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian besar

pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya bagi para spiritualisdari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagaiamalan spiritual lainnya pasti seseorang akan memintaterlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual tersebut kepada ahlinya.

Namun, hingga kini masih banyak para spiritualisyang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka. Kenapa suatu ilmu spiritual mesti memiliki Ijazah yang jelas ? Siapa saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ? Bagaimanakah adab dan tatakrama di dalam memberi dan menerima Ijazah ? Dan berbagai pertanyaan lainnya seputar Ijazah.

Secara garis besar, Ijazah adalah suatu tindakan berisyarat pemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid. Sedangkan secara khusus pengertian Ijazah adalah pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh seorang Guru ke dalam ruh seorang Murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan kewajiban dan khidmat.

Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah dalam suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah, para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah Muhammad S.A.W.

Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20 tahun, selama itu pula ia sering mengalami berbagai peristiwa ghaib yang menurutnya adalah benar. Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali Allah, bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas dan berbagai pengalaman ghaib lainnya. Suatu hari ketika berdagang ke Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan selama 20 tahun ini ?” Abu Nahar

والإسناد في زمننا صار من قبيل التبرك عن طريق الإتصال بالأئمة الأكابر

“Sanad di zaman kita sekarang menjadi ranah mencari berkah untuk menyambung jalan kepada para imam-imam besar”.

Belajar menjadi sebuah ikhtiar yang menempati posisi utama. Adapun  ijazah menjadi pelengkap agar keilmuan seseorang mendapat keberkahan dan  jaminan legalitas dari para ulama cendikiawan Muslim. Keberkahan ijazah sanad biasanya akan terasa ketika dihadapkan dengan persoalan yang harus dijawab sementara tak kunjung menemukan referensinya. (Berbagai Sumber)***