SUNAN GUNUNG JATI, atau dikenal juga sebagai Syarif Hidayatullah adalah tokoh penegak Islam pertama di Tatar Sunda. Ia dibesarkan dan dididik di tanah Arab. Mengenal Islam dari tokoh-tokoh besar di Mekah dan Baghdad, membuat pengetahuan Islam Syarif Hidayatullah sangat mumpuni untuk disebarkan kepada masyarakat.
Setelah kembali ke Mesir, Syarif Hidayatullah memutuskan untuk peegi menyebarkan Islam di Pulau Jawa yang masih Hindu.
Diceritakan dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Syarif Hidayatullah tiba di Cirebon pada 1475, setelah sebelumnya singgah di Samudera Pasai, Banten, dan Jawa Timur. Ia datang bersama para pedagang Arab yang singgah di pelabuhan Muara Jati. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Desa Pasambangan.
Di tempat itu Syarif Hidayatullah mulai mengajarkan agama Islam. Ia dengan cepat diterima oleh masyarakat, walau pada saat itu masih dianggap orang asing (Arab). Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Syarif Hidayatullah berhasil mengislamkan penduduk yang mayoritas beragama Hindu.
Kedudukan Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan Islam semakin kuat setelah menikahi gadis-gadis lokal. Syarif Hidayatullah menikah sebanyak 6 kali, yakni:
(1) Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuwana.
(2) Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan.
(3) Nyai Kawung Anten, adik bupati Banten.
(4) Syarifah Baghdadi, adik Pangeran Panjunan; (5) Ong Tien Nio, putri keturunan Cina; dan
(6) Nyai Tepasari, putri Ki Gedeng Tepasari dari Majapahit.
Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat, ia mendapat sebutan Syekh Maulana Jati.
Pada 1479, sepulang berdakwah di Banten, Pangeran Cakrabuwana menyerahkan takhta kekuasaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Ia mendapat gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah.
Dalam Babad Tanah Sunda: Babad Cirebon menyebut para wali di Jawa menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panetep Panatagama Rasul di tanah Sunda. Sebutan lainnya “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba” Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW.
Setelah memangku jabatan penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah segera memutuskan untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Ia menolak memberikan kewajiban upeti, berupa garam dan terasi, kepada Sri Baduga Maharaja.
Mengetahui hal itu, raja Sunda murka. Ia kemudian mengirim Tumenggung Jagabaya dan bala tentaranya untuk mendesak Cirebon.
Setelah tiba di Cirebon, Tumenggung Jagabaya beserta pasukannya justru beralih agama dan memeluk Islam. Mereka menetap di Cirebon dan mengabdi kepada Syarif Hidayatullah.
Peristiwa pengkhianatan pasukannya membuat Sri Baduga Maharaja berencana menyerang habis-habisan Cirebon. Tetapi berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi keraton). Sobana menyebut Syarif Hidyatullah, sebagai Wali Sanga, telah berulangkali meminta raja Sunda untuk memeluk Islam. Namun selalu gagal.
Sejak berhenti memberikan upeti itulah Cirebon menjadi kerajaan Islam yang merdeka dan otonom. Penetapan berdirinya kesultanan pun tercatat pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 1482 Masehi.
Sebagai kepala negara sekaligus kepala agama (wali), Syarif Hidayatullah berperan penting dalam perluasan kekuasaan politik dan agama Islam di wilayah Cirebon. Salah satu jalan dakwah yang menjadi prioritasnya adalah pembangunan sarana ibadah di seluruh wilayah kekuasaannya.
Syarif Hidayatullah mempelopori pembangunan masjid agung Sang Cipta Rasa pada tahun 1489 M sebagai pusat dakwah. Letak masjid berada di samping kiri keraton dan sebelah barat alun-alun. Dalam Babad Cirebon disebutkan pembangunan masjid melibatkan Raden Sepat, mantan arsitek Majapahit. Ia juga dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga.
Selama masa awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah membangun banyak sarana dan prasarana kerajaan. Seperti sarana transportasi penunjang pelabuhan dan sungai, serta memperluas area jalan di beberapa tempat. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penyebaran agama Islam di wilayahnya.
Salah satu kearifan Sunan Gunung Jati adalah dalam pemberlakuan pajak. Jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat serta digunakan dengan semestinya.
Syarif Hidayatullah memprioritaskan pengembangan Islam dengan mendirikan masjid-masjid di seluruh wilayah Cirebon. Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembangunan spiritual masyarakat. Sejalan dengan hal itu, wilayah kekuasaan Cirebon pun semakin luas dengan diperkenalkannya ajaran-ajaran Syarif Hidayatullah oleh para muridnya.
Kegiatan dakwah Syarif Hidayatullah di luar Cirebon mencakup daerah Sumedanglarang, daerah Ukur Cibaliung di Kabupaten Bandung, Batulayang, daerah Pasir Luhur, hingga Garut. Syarif Hidayatullah menggunakan pendekatan sosial budaya dalam proses dakwahnya, sehingga ajarannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Dalam berdakwah, Sunan Gunung Jati juga memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang unsur-unsur legenda dan mitos.
Sunan Gunung Jati dalam sejarah dikenal sebagai salah satu anggota Walisongo yang mendakwahkan Islam di bagian barat pulau Jawa. Selain sebagai sorang anggota Walisongo beliau juga merupakan Penguasa atau Raja Cirebon ke II. Sunan Gunung Jati hidup selama 120 tahun, dan lebih dari 90 tahun hidupnya dibaktikan untuk mensyiarkan Islam diseluruh tanah Pasundan.
Lika-liku kehidupan Sunan Gunung Jati banyak diceritakan dalam naskah-naskah klasik milik kesultanan Cirebon, maupun milik masyarakat. Syukurnya dalam naskah-naskah tersebut memuat kabar mengenai sejarah perjalanan Sunan Gunung Jati dari lahir hingga kewafatannya.
Sunan Gunung Jati lahir di Mesir pada sekitar tahun 1402 Masehi, beliau merupakan anak dari pasangan Sultan Hud dan Dewi Rara Santang. Ayahnya merupakan penguasa Banisrail (Mesir-Palestina), sementara ibundanya merupakan puteri Prabu siliwangi, seorang Raja dari Kerajaan Sunda.
Kisah kelahiran Sunan Gunung Jati dimulai dari kisah Dewi Rara Santang yang mendapatkan jodoh ketika sedang melaksanakan ibadah haji di Mekah. Ketika menikah dewi Rara Santang dikisahkan mengajukan syarat kepada calon suaminya, syaratnya adalah Dewi Rara Santang mau dinikahi dengan syarat apabila ia memiliki anak laki-laki, ia harus tinggal ke tanah leluhurnya (Sunda) untuk menyebarkan agama Islam disana.
Syarat itu pun kemudian disanggupi oleh Sultan Hud. Berjalananya waktu, Dewi Rara santang mengandung, dan kemudian melahirkan seorang anak pertamanya yang ternyata berjenis kelamin laki-laki. Anak yang baru dilahirkan itu kemudian dinamai Syarif Hidayatullah.
Setelah kelahiran Syarif hidayatullah, bapaknya rupanya sangat sayang terhadap anaknya, pesta kelahiran Sunan Gunung Jati dikisahkan digelar dengan besar-besaran, meriam dibunyikan, bahkan pesta syukurnya digelar tiga hari tiga malam.
Sunan Gunung Jati kecil menjadi anak yang beruntung, sebab selain putera seorang pembesar, beliau juga rupanya dicintai oleh ayahnya. bahkan saking cintanya ia lupa tentang janjinya dahulu untuk membiarkan Syarif hidayatullah hidup di Pulau Jawa. Setelah 2 tahun kelahiran Syarif Hidayatullah, dikisahkan Dewi rarasantang kemudian melahirkan lagi anak keduanya, yang kelak diberinama Syarif Nurullah.
Pada umur 7 tahun syarif hidayatullah kecil dibawa oleh Bapaknya untuk berziarah ke makam Nabi di Madinah. Pada saat berziarah di makam Nabi inilah, Sultan Hud dikabaran mendapatkan wisik bahwa kelak anak itu akan mejadi Wali ditanah kelahiran ibunya. Barulah kemudian Sultan Hud ingat kemabali akan janjinya.
Masa Kanak-Kanak Sunan Gunung Jati
Pada umur 12 tahun, Syarif Hidayatullah ditinggal wafat oleh bapaknya, sebagai anak laki-laki pertama ia kemudian diangkat menjadi pewaris tahta. Masa kanak-kanak Sunan Gunung Jati dikisahkan dihabiskan dengan belajar, beliau dikisahkan sebagai anak yang gemar mengunjungi perpustakaan.
Dari seringnya Syarif Hidayatullah membaca-baca buku di Perpustakaan, ia kemudian menemukan sebuah kitab langka, kandungan kitab langka itu dikisahkan membahas mengenai sosok Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut digambarkan mengenai kesejatian dan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.
Setelah sekian lama membaca kitab itu, Syarif Hidayatullah dikisahkan tertarik kepada kepribadian sang Nabi, ia ingin mecontoh Nabinya, dan karena terlalu mencintai dan mengagumi sosoknya, ia kemudian ingin berjumpa dengan sang Nabi.
Ketertarikan dan keinginan Syarif Hidayatullah untuk bejumpa dengan nabi Muhamamad itu kemudian diutarakan kepada ibundanya. Betapa terkaget-kagetnya Ibunda Syarif Hidayatullah mendengar rengekan anaknya yang ingin berjumpa dengan sang Nabi. Dewi Rarasantang kemudian memberikan penjelasan kepada anaknya bahwa Nabi Muhammad telah lama wafat dan dimakamkan di Madinah, jadi tidak mungkin bertemu dengannya.
Setelah peristiwa itu, keinginan Syarif Hidayatullah untuk dapat berjumpa dengan Nabi Muhammad akhirnya dapat diredam oleh Ibundanya, diredam untuk beberapa waktu, sebab pada saat Syarif Hidayatullah memasuki usia remaja, keingininan untuk berjumpa dengan Nabi Muhammad ini rupanya timbul kembali.
Masa Remaja dan Masa-masa menuntut Ilmunya Sunan Gunung Jati
Pada sekitar umur 15-17 tahun, kecintaan Syarif Hidayatullah terhadap nabinya sudah memuncak, ia ingin mengembara mencari Nabi Muhammad, ia pun kemudian meminta izin kepada ibunya untuk mengemabara mencari Nabi Muhamad, kali ini Syarif Hidayatullah sudah pintar, ia sudah bisa berpendapat. Ia meyakinkan Ibunya, bahwa meskipun Nabi Muhammad telah wafat, tapi dia yakin jika Allah mengizinkan ia akan bertemu sang Nabi.
Dengan terpaksa dikisahkan Ibundanya mengizinkan anak pertamanya itu untuk mengembara mencari Nabi Muhammad SAW.
Setelah mendapat bekal yang cukup, Syarif Hidayatullah remaja kemudian dikisahkan mengembara ke Zazirah Arab untuk mencari sang Nabi, dari satu tempat ke tempat ia cari ternyata sang Nabi tidak dapat ditemukan.
Setelah 100 hari pengembaran, rasa letih Syarif Hidayatullah membawanya tertidur dibawah pohon rindang, dalam keadaan tidur itulah kemudian Syarif Hidayatullah muda masuk kedalam alam lain. Ia bertemu dengan Nabi Khidir, sang Nabi mengangkatnya menjadi Wali. Iapun kemudian dibawa oleh Nabi Khidir untuk menemui Nabi Muhammad.
Syarif Hidayatullah kemudian berjumpa dengan Nabi Muhammad dalam alam itu, beliau diberikan nasihat oleh Nabi, sekaligus juga diperintahkan oleh Nabi agar melaksanakan Ibadah Haji dan mencari guru untuk belajar agama. Setelah perjumpaan dalam alam mimpi itu, Syarif Hidayatullah kemudian terbangun, dan merasa puas hatinya, karena telah berjumpa dengan nabinya.
Setelah peristiwa itu, Syarif Hidayatullah kemudian dikisahkan melaksanakan Haji dan untuk selanjutnya berguru kepada para Ulama yang ada di timur tengah. Sebelum akhirnya beliau pulang ke Istananya untuk menjumpai Ibundanya.
Masa Dewasa dan Pengembaraan Sunan Gunung Jati ke Cirebon dan Pasundan
Setelah pulang dari Pengembaraan panjangnya, hingga ia menjadi seorang dewasa, Syarif Hidayatullah muda kemudian ditugaskan oleh Ibundanya untuk menyebarkan agama Islam ditanah Sunda, di tanah nenek moyangnya. Ibundanya berpesan agar apabila anaknya telah sampai di Pasundan ia diharuskan terlebih dahulu menemui pamanya Raden Walangsungsang di Cirebon.
Syarif Hidayatullah kemudian berangkat dari Mesir menuju ke Pasundan, akan tetapi perjalananya itu rupanya terlebih dahulu mengantarkannya ke Pasai, di Pasai ia kemudian berguru pada ulama-ulama disana, sebelum akhirnya ia berangkat kembali ke tanah Jawa untuk melanjutkan perjalanannya.
Cirebon kala itu sudah menjadi kerajaan otonom dibawah kekuasaan Pajajaran, Cirebon diperintah oleh Raden Walngsungsang yang sudah memeluk Islam. Ketika sampai di Cirebon, Syarif Hidayatullah kemudian menemui pamannya, dan mengungkapkan jati dirinya dihadapan pamanya bahwa ia anak Rarasantang, adik pamannya.
Kedatangan Syarif Hidayatullah di Cirebon kemudian disambut baik oleh Pamannya, ia kemudian ditugaskan oleh Pamannya untuk menyebarkan Islam di Cirebon dan sekitarnya, maka setelah itu Syarif Hidayatullah kemudian menetap di Cirebon, dan terus berkeliling Cirebon untuk mengislamkan masyarakatnya dengan mendapatkan legitimasi dan fasilitas dari Kerajaan Cirebon.
Dari seringnya Syarif Hidayatullah melakukan dakwah di pelosok-pelosok kampung, ia kemudian mendapatkan jodoh pertamanya, ia menikah dengan Nyimas Babadan, seorang Putri Ki Gede Babadan yang berhasil di Islamkannya.
Setelah berjalannya waktu, rupanya Pangeran Walangsungsang tidak juga mendapatkan anak laki-laki, maka oleh karena itu, ia pun mengawinkan anak kesayanganya Nyimas Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah, dan untuk kemudian menyerahkan tahta Cirebon kepada menantu sekaligus keponakannya. Meskipun demikian setelah pernikahan keduanya Pangeran Walangsungsang keumudian dikisahkan memperoleh anak laki-laki.
Sunan Gunung Jati diangkat Menjadi Sultan Cirebon
Dua tahun setelah Syarif Hidayatullah menjadi penguasa Cirebon, kondisi perpolitikan di Pasundan kemudian berubah drastis, Kerajaan Sunda dikisahkan anti terhadap orang Islam, mereka dipengaruhi Portugis untuk membatasi keberadaan orang-orang Islam di Pasundan.
Mendapati hal itu, maka untuk kemudian Cirebon memproklamirkan diri untuk merdeka dari Pajajaran, dan untuk kemudian mengadakan persekutuan dengan Kesultanan Demak. Selain menjadi Raja di Cirebon, Syarif Hidayatullah juga diangkat menjadi Dewan Wali Kesultanan Demak dengan tugas wilayah barat pulau Jawa.
Sunan Gunung Jati Memerintah Kesultanan Cirebon
Kendali pemerintahan Cirebon ditangan Syarif Hidayatullah dikisahkan sebagai masa keemasan Cirebon, lebih dari 60 tahun beliau memerintah Cirebon, dalam masa pemerintahannya itu, beliau membangun Cirebon secara besar-besaran, mulai dari membangun Istana, Masjid, Kota dan memperbaharui pelabuhan.
Dalam masa Sunan Gunung Jati juga dikisahkan Cirebon mampu menaklukan Galuh, dan bahkan sukses menyebarkan ajaran Islam hingga menjadi agama yang banyak dipeluk rakyat pasundan, selain itu dalam masa beliau juga Cirebon bersama Demak berhasil menaklukan Sunda Kelapa dan mendirikan Kesultanan Banten di wilayah paling barat pulat Jawa.
Selama hidupnya Sunan Gunung Jati pernah memiliki 6 orang Istri, dari keenam istinya itu beliau kemudian memiliki 12 putera dan Puteri. Kelak keturunannya itu kemudian menjadi penguasa di Cirebon dan diluar Cirebon, turut juga menyebarkan Islam, sehingga Pasundan pada kemudiannya berubah menjadi negeri Islam. Yaitu suatu negeri yang mayoritas masyarakatnya memeluk ajaran Islam.
Detik-detik Wafatnya Sunan Gunung Jati
Masa-masa sepuh Sunan Gunung Jati dihabiskan di Gunung Sembung, sementara pemerintahan diserahkan kepada menantunya Fatahillah, mengingat anak-anak Sunan Gunung Jati yang dinobatkan menjadi penggantinya telah wafat terlebih dahulu.
Tepat pada umur 120 tahun, Pada tahun 1568 M, Syarif Hidayatullah meninggal dunia. Sultan sekaligus wali Cirebon menghembuskan nafas terakhirnya di Gunung Sembung, Ia dimakamkan di Astana Gunung Sembung, beliau wafat ditempat yang sederhana, dikisahkan, beliau wafat diatas bantal yang terbuat dari batu, sementara tikarnya terbuat dari daun Rundamala.
Syarif Hidayatullah tampil sebagai kepala pemerintahan Cirebon selama kurang lebih 89 tahun, dan berhasil mengislamkan hampir seluruh wilayah kekuasaannya.
Wallahu’aklambishiwab…
Demikianlah kisah mengenai Sunan Gunung Jati yang dikisahkan dibeberapa naskah Cirebon.
Mudah mudahan dengan mengetahui sejarah atau biografi seorang waliyullah bisa menambah semangat kita untuk menuntut ilmu dan berdakwah…. Aamiin ya mujibassailin
كن صَلى عَلَى محمد