oleh

Masyarakat Adat Baduy Keterjalinan Religi dan Tradisi

Oleh: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)

PENGGALIAN, penelitian, pengkajian, dan pengembangan  tinggalan kearifan lokal  nenek moyang  masa lampau setidaknya  berguna untuk memperkaya dan menunjang pengembangan kebudayaan nasional. Pengalaman rohani dan jasmani yang dituangkan lewat kearifan lokal budaya suatu bangsa maupun suku bangsa, khususnya budaya Sunda dapat berfungsi sebagai alat yang tangguh dan filter untuk membendung arus masuknya kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian serta kepentingan bangsa kita. Untuk itu, kita dituntut agar mampu memilah dan memilihnya, mana yang baik dan mana yang kurang baik.

Untuk memahami hasil budaya suatu bangsa atau suku bangsa lewat  pengetahuan yang mewadahi latar belakang penciptaan dan sosiokultural, yang antara lain terekam dalam kepercayaan, pandangan hidup, adat-istiadat, sosial, politik, dan ekomoni, yang mampu mengungkap kearifan lokal itu sendiri.  Kearifan lokal budaya Sunda sebagaimana tercermin dalam kearifan lokal budaya masyarakat Baduy, yang menjadi ‘icon’ serta  masih kuat dan pengkuh ‘taat’ memegang adat istiadat dalam tradisi dan religi yang dianutnya.

Di era millennial saat ini, masyarakat Indonesia sudah menerima budaya industri. Dari sekian banyak suku bangsa tersebut masih ada suku bangsa yang tetap bersikukuh mempertahankan budaya tradisional dan adat istiadat serta tradisinya, salah satu di antaranya adalah Suku Baduy yang tinggal di daerah Kanékés Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Suku Baduy merupakan salah satu komunitas di daerah Banten yang masih teguh memelihara dan menjalankan adat istiadat serta menganut kepercayaan yang dikenal dengan sebutan Sunda Wiwitan atau Selam Wiwitan, sebagaimana disebutkan oleh seorang Puun di Baduy.  Suku Baduy  merupakan satu kesatuan komunitas yang disebut Suku Baduy, yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Eksistensi dan keterjalinan ajaran yang dianut oleh masyarakat Baduy, dalam prakteknya sehari-hari tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat, malahan ajaran Sunda/Selam Wiwitan tersebut diaplikasikan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hampir tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dengan kata lain, tidak dapat dibedakan mana kepercayaan/re;igi, dan  yang mana tradisi/adat istiadat mereka. Yang jelas, dari kebiasaan sehari-hari tersirat adanya nilai-nilai kehidupan manusia pada masa silam yang sudah memiliki nilai dan norma  sebagai makhluk sosial yang tertata dan saling memerlukan serta berinteraksi, baik di dalam komunitas itu sendiri maupun dengan komunitas lainnya di luar masyarakat Baduy.

Masyarakat Baduy sesuai dengan kepercayaan yang berkelindan erat dengan kearifan lokalnya, tidak terlepas dari  Rukun Sunda Wiwitan, yang meliputi kegiatan Ngukus, Ngawalu, Moja, Ngalaksa, Ngalanjakan, dan Kapundayan.  Ngukus adalah upacara ngajampé untuk mendoakan segala sesuatu, yang berkaitan dengan  keselamatan, kesehatan, kemakmuran, yang  dilakukan pada bulan ketiga atau tepatnya di saat-saat ngalaksa yang  dilakukan satu tahun sekali. Sementara itu, yang disebut Ngawalu, tidak lain  berpuasa satu hari selama tiga bulan, yang wajib dilaksanakan oleh  warga Baduy kecuali anak-anak. Mereka pun berpuasa pada bulan kawalu, dilaksanakan pada bulan kasa, karo, dan katiga.  

Puasa Kawalu  dilakukan pada tanggal 18 di bulan Kasa, tanggal 19 di bulan karo,  dan tanggal 18 lagi di bulan  katiga. Puasa tersebut dilakukan sehari penuh, dimulai dari subuh tanpa sahur, dan buka puasa dilakukan pada saat matahari mulai terbenam. Sementara itu  adalah kegiatan ziarah ke Sasaka Domas, dilakukan oleh Kokolot, Kokolotan, Puun, Tangkesan, Jaro Adat,  dan  Jaro Pamaréntah,  serta laki-laki yang berumur lebih dari 15 tahun,  Kegiatan Muja  di Sasaka Domas  hanya dilaksanakan satu hari, pagi sampai sore, dilakukan bulan kelima tanggal tujuh. Muja  dilanjutkandi Kampung Cibéo (Baduy Dalam) yang disebut juga d Pada Ageung, dilakukan bulan yang sama tanggal tujuh belas. Peziarah harus berpuasa sehari sebelumnya.

Acara Ngalaksa bagi warga Baduy mrupakan  hari raya,  jatuh  pada  bulan  Katiga  selama  delapan  hari, tanggal 20 – 27,  wajib dirayakan setiap tahun. Masyarakat membuat kue-kue hari raya, terutama kue laksa.  Ngalaksa bisa disebut pesta tutup tahun serta merupakan akhir dari rangkaian kegiatan warga Baduy dalam bercocok tanam. Ada lagi kegiatan berburu yang wajib dilakukan oleh setiap warga Baduy, disebut .Ngalanjakan.  Dalam satu tahun diwajibkan berburu minimal satu kali, yakni .kegiatan menjala ikan di aliran sungai tanpa menggunakan obat-obatan pestisida. (***

Komentar