(Dosen IAI Latifah Mubarokiyah Suryalaya Tasikmalaya)
WABAH virus corona atau covid-19 telah memporakporandakan berbagai lini kehidupan manusia. Mulai dari aspek ideologi, politik, sosial, budaya, bahkan pertahanan dan kemanaman pun tidak luput terkena imbasnya. Aspek ideologi telah melahirkan dualisme kayakinan (idiologi). Pertama bagi orang yang percaya dan iman kepada qada dan qadar Allah Swt. memiliki keyakinan bahwa tidak perlu takut mati karena virus corona karena ajal setiap manusia sudah ditentukan Allah Swt. Menurut kelompok ini kalaupun wabah corona ada, kalau belum waktunya mati kita akan tetap hidup. Kedua orang yang memiliki keyakinan bahwa bukan takut terhadap virus corona tetapi kita berkewajiban berikhtiar untuk memutus penyebarannya sehingga kita terbebas dari virus corona. Dalam keyakinan kelompok ini kita berpindah dari satu ketentuan kepada ketentuan lain.
Di bidang politik corona “memaksa” berbagai kegiatan pemilihan kepala daerah dan kepala desa misalnya harus ditunda pelaksanaannya. Sehingga komisi pemilihan umum (KPU) mendesain ulang jadwal pemilihan. Dalam aspek sosial dan budaya tak luput terkenan imbasnya. Berbagai kegiatan (seni, olah raga, bahkan ibadah, belajar, dan berkerja pun) dihentikan dan atau dialihkan ke rumah (stay at home). Dalam dunia pendidikan guru dan siswa, dsoen dan mahasiswa harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) sistem online (daring). Kecuali itu, ujian nasional pun terpaksa ditiadakan. Aspek stabilitas keamanan dan pertahanan pun hampir tercobak-cabik karena virus corona ini. Kondisi ini telah berlangsung lama dan entah kapan akan berakhir.
Dipihak lain sebagai makhluk hidup manusia harus memenuhi segala jenis kebutuhannya baik kebutuhan biologis, psikologis, dan lainnya. Kondisi inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa pemerintah mengeluarkan wacana hidup dalam kenormalan baru (new normal). Seperti dilansir dari lamaan https://tirto.id/ (02/06) menurut pemerintah Indonesia masyarakat harus tetap menjaga produktivitas di tengah pandemi virus corona COVID-19 dengan tatanan baru yang disebut new normal. Tatanan baru ini perlu ada sebab hingga kini belum ditemukan vaksin definitif dengan standar internasional untuk pengobatan virus corona. “Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita produktif namun aman dari COVID-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru,” demikian Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah dalam penangan covid-19.
New Normal dan Islamic Life Style
Menurut pemerintah new normal adalah tatanan, kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat inilah yang kemudian disebut sebagai new normal. Cara yang dilakukan dengan rutin cuci tangan pakai sabun, pakai masker saat keluar rumah, jaga jarak aman dan menghindari kerumunan. Pihaknya berharap kebiasaan baru ini harus menjadi kesadaran kolektif agar dapat berjalan dengan baik. “Siapa pun yang mengelola tempat umum, tempat kerja, sekolah dan tempat ibadah harus melakukan memperhatikan aspek ini, bahkan kita berharap harus menjadi kontrol terhadap kedisiplinan masyarakat,” ujarnya. Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, tentu bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah.
Lahirnya istilah new normal tak pelak mendapat beragam komemtar masyarakat, salah satunya komentar ketua Umum MUI Sumbar (Buya Gusrizal Gazahar). Dilansir dari lamaan https://langgam.id/ (02/06) Buya menilai kebijakan new normal yang diterapkan pemerintah sejatinya telah lebih dahulu diterapkan dalam ajaran agama Islam. “New normal hanya mengatur beberapa sisi kehidupan seperti di kantor, pasar, dan lainnya, tidak secara menyeluruh. Padahal, dalam Islam sudah jauh-jauh hari dan jelas diajarkan secara menyeluruh. Dalam Islam ada perintah menjaga kebersihan, kalau bersin menutupnya, menghindar dari orang batuk, menjaga wudu, kalau bisa seorang muslim selalu menjaga wudunya”. Tidak hanya itu, dalam Islam juga ada perintah menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebersihan makanan, dan gizi yang seimbang. Kalau aspek itu diterapkan, maka sebenarnya tidak ada yang namanya new atau baru”.
Menilik kedua istilah di atas (new normal dan Islamic Life Style) nampaknya keduanya merupakan pengetahuan yang bersifat prosedural (procedural knowledge), yakni pengetahuan yang didukung dengan langkah atau tahapan dalam penerapannya. Kesimpulan ini tidak tertalu penting yang lebih penting adalah bagaimana implementasi dan implikasi dari pengetahuan tersebut terhadap perbaikan kehidupan manusia. Apakah istilah new normal atau islamic life style yang akan menjadi panduan masyarakat dalam memasuki kehidupan pasca pademi covid-19 ini? Prosedur manakah yang akan menjadi kebiasaan setiap orang? Serta prosedur mana yang memberikan dampak postif terhadap perbaikan kehidupan manusia.? Waktulah yang akan menjawabnya.