oleh

Pendidikan Lesu: “Lagi-Lagi Dilema Pandemi”

Oleh: Yanti Warlina, S.Pd. (SDN Babakankadu Kota Tasikmalaya)***

MINGGU, 15 Maret 2020 lalu, Presiden Joko Widodo dalam keterangan persnya memberikan anjuran kepada masyarakat untuk menerapkan aturan jaga jarak atau yang terkenal dengan istilah physical distancing / social distancing. Aturan ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kasus positif Coronavirus Disease (Covid-19) sejak pertama terjadi di Indonesia yang menjangkit 2 orang warga yaitu pada tanggal 2 Maret 2020. Pasien positif pun terus bertambah menjadi 96 orang per tanggal 15 Maret 2020 dan menjadi 1,17 juta orang yang terjangkit per 11 Februari 2021. Akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa semua kegiatan yang melibatkan banyak orang ditiadakan, dan setiap aktivitas harus dilakukan di rumah, termasuk belajar dari rumah.

Adanya pandemi Covid-19, mengharuskan pendidikan dari jenjang PAUD–perguruan tinggi beralih dari yang sebelumnya menggunakan sistem konvensional dengan tatap muka, kini menjadi pembelajaran jarak jauh (distance learning). Dengan kata lain, pembelajaran dilakukan di rumah (home learning) dengan sistem pembelajaran dalam jaringan (daring)/ online learning. Hal ini menjadi tantangan bagi pendidikan di Indonesia. Stakeholder pendidikan harus siap mengaplikasikan teknologi dalam pembelajaran jarak jauh walau terkesan mendadak. Walau pada kenyataannya, alih-alih ingin belajar dengan baik, banyak problematika yang muncul sehingga pembelajaran daring pun dinilai belum efektif, padahal e-pedagogy (pembelajaran dengan menggunakan peralatan elektronik) sudah mulai diterapkan di Indonesia pada tahun 2016 lalu. Hal tersebut ditinjau dari berbagai perspektif, di antaranya dari aspek teknis, didaktis, pedagogis, kesehatan dan ekonomi. Agar lebih spesifik, bahasan ini akan dikhususkan pada pembelajaran daring di Sekolah Dasar karena menurut usia perkembangannya (7-11 tahun) menurut kategori yang disampaikan Depkes RI (2009), usia ini rentan terkena dampak kemajuan teknologi sehingga harus selalu dibimbing oleh orangtua.

Dari segi teknis, pembelajaran daring di Sekolah Dasar seringkali menemui kendala, diantaranya masih banyak guru yang tiba-tiba gagap dalam mengajar dengan moda daring, begitupun orangtua yang kelimpungan setiap hari mendampingi anaknya belajar. Hal ini karena berdasarkan hasil riset Mark Prensky pada tahun 2001 bahwa guru atau orangtua pada saat ini didominasi oleh orang-orang yang lahir sebelum tahun 1990. Generasi ini dinamakan generasi X (pra-milenial) yang kebanyakan adalah digital immigrant, artinya pada saat orang-orang ini lahir hingga dewasa belum berkembang teknologi digital. Maka, wajar apabila kebanyakan generasi ini minim dalam penguasaan teknologi dan tidak dapat mudah beradaptasi dengan iklim digital.

Selain itu, tidak semua orangtua peserta didik mempunyai sarana dan prasarana yang menunjang untuk proses pembelajaran dengan sistem daring seperti gawai ataupun laptop. Dari hasil survey We Are Social, sebuah platform manajemen media sosial pada tahun 2020 yang dilansir hanya 64% penduduk Indonesia yang sudah menggunakan internet. Hal tersebut mengindikasikan masih banyak yang belum menggunakan internet.

Hal teknis lain yang  menjadi penyebab tidak siapnya pendidikan Indonesia dalam melaksanakan pembelajaran daring adalah adanya perbedaan (gap) akses koneksi internet tiap peserta didik. Dengan kata lain, terdapat perbedaan daya tangkap sinyal internet akibat tidak meratanya jaringan di beberapa wilayah. Peserta didik yang berlokasi di daerah pelosok sulit mendapatkan sinyal, sehingga kesulitan pula dalam menerima materi dengan baik. Sedangkan, dari segi hubungan peserta didik dengan materi ajar (didaktis), seharusnya tujuan pembelajaran diketahui oleh peserta didik dengan jelas untuk dicapai, sehingga materi harus benar-benar dikuasai oleh peserta didik. Hal ini tentu tidak akan terwujud, jika tersendat oleh sinyal yang buruk. Bahkan, buruknya koneksi internet dapat mengakibatkan miskomunikasi dalam penyampaian materi dan tugas. Akibatnya, materi yang didapat oleh peserta didik tidak utuh dan tidak menutup kemungkinan bisa salah tangkap (miskonsepsi).

Dari segi pedagogis, dapat dikatakan bahwa metode pembelajaran tidak dipilih hanya dengan memperhatikan keadaan warga belajar (peserta didik) saja, namun perlu diperhatikan juga mengenai tujuan dan materi pembelajaran serta alokasi waktu. Oleh sebab itu, meskipun kondisi masih dalam masa pandemi, pembelajaran idealnya dilaksanakan dengan variasi metode. Pada kenyataannya, menurut Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia menyampaikan bahwa kebanyakan pembelajaran daring telah mengubah pembelajaran yang semula diadakan untuk menjadikan peserta didik paham terhadap materi berubah menjadi pembelajaran yang digunakan untuk memberikan berbagai macam tugas yang seringkali memberatkan peserta didik karena guru lebih dominan menggunakan metode penugasan yang dinilai lebih mudah. Padahal, belum tentu metode penugasan itu cocok untuk semua materi.

Dari segi kesehatan, pembelajaran daring pun harus diperhatikan karena menyangkut masa depan peserta didik. Penggunaan gawai yang terlalu sering selain dapat mengganggu perkembangan otak dan dapat merusak mata akibat radiasi dari layar gawai, juga dapat menimbulkan gangguan psikis serta gangguan mental dan kemampuan bersosial. Frekuensi dan intensitas penggunaan gawai dan internet sebaiknya diminimalisir agar pembelajaran daring tidak memberi pengaruh buruk terhadap diri peserta didik.

Sedangkan dari sisi ekonomi, pembelajaran dalam moda daring memberatkan orangtua. Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI menujukan bahwa 42,2% peserta didik mengeluhkan tidak memiliki kuota internet, dan 52,8% peserta didik lainnya meminta pemerintah untuk menggratiskan biaya internet, hal ini disebabkan karena selama pembelajaran daring, kuota yang dikeluarkan cukup besar. Hal ini menjadi hambatan untuk peserta didik yang sedang dalam keadaan ekonomi pas-pasan, apalagi di masa sulit seperti ini, ketika banyak orangtua yang kehilangan pekerjannya karena adanya wabah COVID-19.

Beberapa analisa di atas menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia kini memang sedang terjadi distraksi atau gangguan karena perubahan terjadi serba mendadak. Namun, kita semua berharap dengan adanya dinamisasi dalam pendidikan ini tidak hanya memberikan efek negatif namun juga menjadi batu loncatan majunya pendidkan Indonesia. Oleh karenanya, kini pendidikan bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan pihak sekolah, namun juga menjadi atensi bagi masyarakat lainnya, karena peserta didik berhubungan langsung dengan keluarga dan masyarakat. Sehingga diperlukan kerja sama, kolaborasi dan dukungan dari berbagai pihak untuk dapat mempertahankan dan menyelamatkan pendidikan di negeri kita tercinta.