oleh

“Penguatan Pendidikan Karakter Melalui Media Film”

Helatini, S.Pd., M.Si

 

FILM Penguatan Pendidikan Karakter yang diputar di Cinema XXI Transmart Kota Tasikmalaya, berjudul Ayu Anak Titipan Surga. Film ini direkomendasi oleh Kepala Dinas Pendidikan untuk ditonton oleh para kepala sekolah, guru dan peserta didik SD dan SMP di Kota Tasikmalaya. Judulnya menarik, dan yang lebih menarik lagi film ini mendapat penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia, sebagai film dengan penonton terbanyak sebelum tayang resmi.

Berbicara tentang penguatan pendidikan karakter (Peraturan Presiden RI Nomor 87 Tahun 2017 Tentang Penguatan Pendidikan Karakter), sebenarnya pendidikan karakter  sudah ada dan dilaksanakan dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia sejak dulu. Tentang karakter religius, nasionalis, mandiri, integritas dan gotong royong, sudah tidak asing. Masalahnya adalah bagaimana karakter tersebut tidak pudar dari kehidupan bangsa Indonesia, maka dikuatkan kembali dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan kegiatan nonton Film Penguatan Pendidikan Karakter.

Film Ayu Anak Titipan Surga, membongkar kehidupan peserta didik dengan segala suka dukanya. Praktek buliying, yang marak hampir terjadi di banyak sekolah mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tidak bisa dibiarkan karena sudah mencapai fase melukai dan mengancam keselamatan jiwa raga (brutal). Diperlukan kerjasama yang signifikan antara orang tua, guru, masyarakat dan pelaku dunia usaha untuk menyelamatkan anak-anak kita dari praktek buliying.

Miris sekali menyaksikan Ayu, anak baik yang menjadi korban buli gank Evi, anak orang kaya yang manja, kurang etika, sok kuasa, penuh iri dan dengki.. Berbagai cara dilakukan untuk mencelakakan Ayu, mulai dari hinaan, olok-olok, memojokkan dan menebar paku payung untuk menghadang perjalanan Ayu ke sekolah. Ayu hampir kena fitnah mencuri handphone, tapi salah sasaran. Dalam kegiatan karyawisata Ayu didorong, sehingga menyebabkan Atang jatuh ke kolam, seolah Ayu adalah pelakunya. Insiden inilah yang membuat penonton menangis, menyaksikan Ayu pulang sendiri, berpisah dari rombongan dan guru pembimbing membiarkan Ayu berlari dalam derasnya hujan kemudian bersimpuh di pusara ayahnya. Mengapa guru tidak melarang Ayu pulang sendiri?  Skenarionya sengaja dibuat begitu? Atau jangan-jangan memang ada ketidakberpihakan guru terhadap segelintir peserta didik?

Latar belakang keluarga dan pola pendidikan di keluarga Ayu, menjadikan anak ini berpikir positif,  memiliki integritas dan kemandirian yang tinggi. Sipat penolong, sabar dan rasa kasih sayang yang dimilikinya sangat menonjol. Sudah berkali-kali dicelakai, Ayu masih mau menolong Evi dan hampir saja dirinya menjadi korban.

Diperlukan pendampingan untuk menonton film ini, terutama bagi peserta didik tingkat sekolah dasar.  Diperlukan pula penjelasan yang sejelas-jelasnya dari guru dan orang tua mengenai film ini, jangan sampai setelah menonton film Ayu Anak Titipan Surga, malah hal negative yang ditiru. Anak usia sekolah dasar sedang berada dalam fase meniru, dan belum seluruhnya dapat membedakan mana yang baik, mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Dalam kehidupan nyata, tidak selamanya yang baik  dan benar pasti menang.  Orang baik, sabar, penolong, penuh kasih kepada sesama sering difitnah, dijatuhkan bahkan ditipu. Di sinilah, orang dewasa, orang tua, guru, dan masyarakat harus memiliki kepekaan yang tajam membaca situasi yang terjadi di rumah, sekolah, masyarakat dan dunia maya.

Kekerasan antar peserta didik di sekolah bisa dipicu karena adanya kekerasan dalam keluarga yang dilakukan orang tua, saudara, atau keluarga lainnya. Bisa juga pengaruh  media sosial yang menyuguhkan beragam gaya hidup tanpa kita bisa membendungnya. Kekerasan tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, kekerasan mental, atau kekerasan seksual, tapi yang tak kalah ganas efeknya adalah kekerasan verbal.

Tidak sedikit perkelahian terjadi diawali dengan perkataan yanag tidak menyenangkan, menyinggung perasaan, menghina, menekan, memprovokasi, memfitnah, dan lain lain. Kata- kata menyakitkan yang didengar anak, akan diingatnya sampai dewasa dan berdampak buruk bagi perkembangan jiwa dan emosinya.

Setelah menonton film ini, sebagai orang tua merasa tergelitik,  jangan jangan anak kita juga mendapat perlakuan yang sama dari teman-temannya atau bahkan dari gurunya yang kurang bijaksana, yang hanya mendengar keterangan sepihak, yang memarahi tanpa mengetahui penyebab yang sebenarnya. Di sini, keadilan dan kecerdasan guru mengelola reward dan funishment (kalau masih ada) dipertaruhkan. Jangan sampai mengorbankan harga diri, perasaan dan masa depan peserta didik.

Keluarga merupakan tempat pertama untuk pembentukan karakter, kemudian dikuatkan di sekolah dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Peran orang tua adalah meletakkan dasar pembentukan karakter dengan pendidikan in formal yang demokratis dan penuh kasih sayang. Peran guru, sekolah dan pemerintah adalah menyelenggarakan pendidikan ramah anak, yang menjamin semua anak Indonesia mendapat pendidikan, perlakuan, penghargaan, rasa aman dan kasih sayang dalam porsi yang adil.

Semoga Pendidikan Penguatan Karakter dan sekolah ramah anak segera terwujud secara merata dan menyeluruh khususnya di Kota Tasikmalaya, umumnya di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

 

Penulis:

Helatini, S.Pd., M.Si

Kepala SDN Karangtengah, Kepala Sekolah Berprestasi Tingkat Kota Tasikmalaya 2019, Pecinta Literasi & Penulis Kumpulan Puisi Mari Sambut Senja yang Menua.