Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S (Dosen Filologi di Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran)
DI ERA MILENIAL saat ini, persoalan dan beragam ketidakadilan terhadap perempuan masih terus bergulir. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan seksual, dan perlakuan ketidakadilan lainnya masih banyak terjadi. Bias-bias ketidakadilan gender senantiasa menggema dalam kehidupan masyarakat. Miris memang, meskipun saat ini telah terjadi pergeseran norma, berkaitan dengan persepsi, sikap, dan tingkah laku serta kedudukan kaum hawa di masa lalu dan di masa kini.
Peran dan fungsi perempuan sebagai istri dan ibu dalam kehidupan rumah tangga, sesuai dengan kodrat dan tugasnya adalah melahirkan, merawat, mengasuh, mendidik, dan membesarkan anak. Meskipun di era milenial kini, dalam pelaksanaannya tidak semua istri atau ibu menjalankan perannya secara taat asas. Pandangan ini jika dikaitkan dengan kedudukan perempuan sebagai ‘pekerja’ diluar rumah, yang peran dan kedudukannya sudah sejajar bahkan ada yang melebihi kedudukan pria.
Perkembangan zaman dan pesatnya teknologi, di era milenial saat ini, beragam anggapan yang melekat dalam diri ‘perempuan’, yang katanya selain cantik, anggun, lemah lembut, emosional dan tidak berdaya, sedikit demi sedikit berangsur-angsur mulai terkikis. Namun anekdot bahwa ‘jatuhnya’ seorang laki-laki, selain karena harta, tahta, juga karena ‘wanita’, masih sering terjadi. Meskipun demikian, tidak semua perempuan bisa disamaratakan, tergantung kepada etika dan moral yang dimilikinya. Pendidikan formal, informal, serta nonformal yang baik, disertai pendidikan agama yang baik pula, akan menjadi ‘tameng’ bagi perilaku perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pewarisan nilai-nilai tradisional di masa lalu, sebagaimana terungkap dalam tradisi tulis dan tradisi lisan mengisyaratkan, bahwa tugas pokok seorang istri adalah mengabdikan diri kepada suami serta mengurus dan membesarkan anak. Dalam menjalankan fungsinya, sebagai seorang istri dan seorang ibu, perempuan berperan penting dalam menunjang dan membantu suami. Peremouan bertugas menyelesaikan beragam urusan keluarga dan rumah tangga. Peran, dan fungsi serta status perempuan sebagai ‘istri’ di masa lampau tersebut, kehidupannya dicurahkan bagi kepentingan suami dan anak.
Nilai-nilai tradisional berkaitan dengan peran, fungsi, dan status perempuan tergambar dalam beragam naskah Sunda, khususnya naskah-naskah pesantren yang banyak mendapat pengaruh Islam, di antaranya Wawacan Piwulang Istri, Nyi Jaojah, dan Nasihat Nabi Muhammad Kepada Putrinya, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Barjah, Di samping itu, dalam beragam karya sastra (novel) Sunda, seperti Baruang Ka Nu Ngarora, dan Lain Eta, Puputon, dan Pipisahan, meskipun berbeda zaman dan ada nuansa gambaran wanita kekinian, masih tetap menampilkan sosok wanita tradisional.
Peran, fungsi, dan status perempuan yang terganbar di masa silam, tentu saja dianggap sudah tidak sejalan lagi dengan situasi dan kondisi masa kini. Namun, nilai-nilai luhur terkait pewarisan nilai tentang moral dan etika masa lampau akan tetap tertanam dalam diri masyarakat yang menjunjung tinggi kearifan lokal budayanya. Setiap suku bangsa dan bangsa yang ada di muka bumi ini memiliki jatidiri dan identitas dirinya masing-masing yang dapat dijadikan acuan dan pedoman bagi kehidupan di masa yang akan datang, yang disesuaikan pula dengan keyakinan dan agamanya masing-masing. Misalnya tentang konsep tradisional bahwa perempuan harus tunduk, patuh, serta setia kepada suaminya. Lewat struktur ini pula sistem patriarki diberlakukan, sehingga tampak nyata perbedaan kedudukan antara pria dan wanita dalam hal pemerolehan status keturunan dan kekuasaan dalam rumah tangga. Di samping itu, pelegitimasian kedudukan dan kekuasaan kaum pria semakin mengarahkan persepsi dari wanita terhadap lingkup peran yang harus dijalaninya.
Di era milenial yang serba canggih kini, peran dan kedudukan kaum perempuan dalam beberapa hal telah sejajar dengan kaum pria. Hal ini tidak mengheranka bagi perempuan Sunda, karena pada tahun 1111 Masehi, di kalangan perempuan Sunda sudah muncul seorang wanita yang pandai, cerdik cendikia, seorang panglima perang, karena telah membangun parit pertahanan di Kabataraan Galunggung, yang dikenal juga sebagai guru agama pada masanya, sehingga dijuluki Sang Sadu Jati. Dialah Ratu Galunggung bernama Dewi Citrawati, yang digelari Batari Hiyang Janapati. Pada zaman kerajaan lainnya dikenal pula Ken Dedes dan Ratu Sima. Di masa perjuangan, kita mengenal Cut Nyak Dien, Cut Mutia, Martha T., Rd. Ajeng Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan wanita-wanita hebat lainnya.
Saat ini banyak kaum wanita yang memegang kendali dan menduduki jabatan yang setaraf dengan kaum pria. Para perempuan yang menjadi srikandi-srikandi pembangunan di masa kini, yang menjabat baik sebagai komisaris, direktris, Mentri Luar Negeri Retno, Mentri Keuangan Sri Mulyani, Mentri Sosial Tri Risma, maupun ketua DPR RI Puan Maharani. Dengan demikian, peran dan kedudukan wanita pun sudah sangat berbeda di era milenial saat ini. Tetapi mungkin pula ada sebagian yang masih tetap sama, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Yang jelas, setinggi apapun kedudukan seorang ‘perempuan’, dia tetap seorang istri, ibu, dan ‘perempuan’ yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah dan keluarganya, karena itulah “kodrat” seorang wanita sepanjang masa. (****