Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom.
SELEPAS era Orde Baru, film independent atau lebih dikenal dengan sebutan film indie semakin berkembang di Indonesia. Diawali dengan rilisnya film Kuldesak (1999) yang digawangi oleh Riri Riza, Rizal Mantovani, Mira Lesmana dan Nan Achnas, film-film indie lain dari berbagai genre mulai meramaikan blantika perfilman Indonesia hingga saat ini. Kini, dengan semakin canggihnya teknologi, terutama dengan adanya internet dengan bandwith cepat dan munculnya berbagai media sosial, para produser dan bahkan kru lapangan sebuah tim produksi film indie dapat dengan mudah mendistribusikan/memasarkan karya-karyanya kepada masyarakat.
Sebelum era internet, para pelaku indie dapat bereksibisi melalui festival, program ekshibisi acara komunitas, serta berbagai kineklub (komunitas film) yang tersebar di kampus dan berbagai tempat, contohnya adalah Kineforum di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kini mereka bisa menggunakan berbagai platform internet seperti Kineria, Viddsee, Youtube, Vimeo, bahkan bisa melalui aplikasi seperti Instagram. Merupakan nilai tambah sebuah film indie, jika penayangan perdananya terjadi di sebuah festival. Apalagi festival tertentu memang memberi syarat film tak pernah diputar di media/tempat lain sebelumnya.
Bisa dibilang, Yogyakarta adalah salah satu kota yang dijadikan parameter untuk dunia film indie di Indonesia. Para sineas muda Yogyakarta dapat menghasilkan film-film indie berkualitas yang dapat bersaing di tingkat internasional. Sebut saja film indie yang diproduseri oleh Ifa Isfansyah, yaitu Siti. Siti dianugerahi 3 Piala Citra sebagai Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Penata Musik Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2015. Selain Siti yang merupakan karya Ifa, film karya Ismail Basbeth yang berjudul Another Trip to The Moon berhasil meraih penghargaan “Tiger Awards” dalam Festival Film Internasional di Rotterdam. Ifa dengan production house (PH) Fourcolours dan Basbeth dengan PH Hide Project adalah beberapa sineas asal Yogyakarta yang mengawali karir perfilmannya dari film indie.
Berkaitan dengan distribusi yang erat kaitannya dengan komunikasi pemasaran, para sineas film indie nasional memiliki “pola” yang hampir sama. Mayoritas para sineas film Indie di Indonesia menapaki karir awal mereka melaui festival-festival film independen/alternatif, baik itu yang bertaraf nasional maupun internasional. Begitu juga dengan Ifa dan Basbeth. Ifa lebih dulu melakukan debut sebagai sineas dan namanya pun lebih dulu dikenal oleh masyarakat lewat film Garuda di Dadaku, sedikit-demi sedikit ia menapaki karirnya sebagai salah satu producer-director handal di Indonesia. Sedangkan Basbeth memulai karirnya di dunia perfilman nasional setelah ia diajak oleh Ifa menjadi salah satu pengurus salah satu festival film tahunan di Indonesia (Jogja-NETPAC Asian Film Festival/JAFF) yang biasa dilaksanakan setiap bulan Desember setiap tahunnya.
Distribusi film indie di Indonesia bergantung kepada kreativitas, kemauan, dan kejelian produser film indie tersebut. Produser harus bisa melihat peluang-peluang dan harus mampu memperoleh informasi sebanyak mungkin. Dalam era teknologi dan internet seperti sekarang, berbagai informasi mengenai festival-festival film dapat dengan mudah didapatkan. Mayoritas sineas indie/alternatif Yogyakarta diangkat oleh festival-festival film internasional. Sebut saja festival film Cannes, Venice, Berlin, dan lain-lain. Tidak jarang pula para sineas yang melakukan debut di festival-festival film internasional bisa langsung meraih prestasi.
Festival film adalah platform utama dalam distribusi film indie/alternatif. Melalui festival film, para sineas dapat sekaligus mempromosikan film mereka. Apalagi jika film mereka berhasil menjadi juara pada sebuah festival film. Proses seleksi festival film, apalagi dalam lingkup internasional, cukup ketat. Faktanya, tidak semua film indie mendapatkan kesempatan untuk tampil di festival-festival film. Memang, ada beberapa film indie yang didistribusikan via home video, TV kabel, atau internet (misalnya menggunakan website berbasis pemutaran video seperti YouTube).
Selanjutnya adalah self-distribution yang biasanya dilakukan via internet. Terdapat beberapa website yang dapat dipakai untuk mendistribusikan film indie–dan biasanya berbiaya relatif rendah—contohnya lewat website tribber.com dan tunecore.com. Jika film indie dipasarkan dalam bentuk DVD, website CreateSpace.com dan Redbox bisa digunakan. Sineas indie Indonesia seringkali menggunakan kanal-kanal di internet untuk mendistribusikan film-film indie mereka, sebut saja via Kineria, ID Film Center, Viddsee, Buttonijo, Layaria, dan www.nonton.com.
Distribusi film bisa terbagi ke dalam beberapa jenis. Distribusi film bisa dilakukan berdasarkan wilayah sebarannya atau berdasarkan output dari karya-karya tersebut. PH Fourcolours melakukan dua metode distribusi ini. Karya-karya yang dihasilkan oleh PH Fourcolours didistribusikan berdasarkan teritori dan dijual berdasarkan output yang berpatokan pada delivery list. Film bisa dijual full (dengan subtitle), bisa dijual tanpa subtitle, bisa dijual per frame (untuk keperluan pembuatan trailer), dan lain-lain. Berkaitan dengan lisensi, lisensi film-film karya Fourcolours yang tayang di televisi dapat ditentukan berdasarkan platform (free TV, pay TV, cable TV, dan lain-lain), teritori, atau eksklusivitas penayangannya.
Press screening juga dilakukan dalam rangka pemasaran film. Para sineas film indie/alternatif juga bisa mengundang para wartawan dari berbagai platform media (baik itu wartawan dari media konvensional maupun wartawan dari media sosial) untuk menghadiri konferensi pers film mereka. Dengan adanya berita/informasi mengenai film mereka yang disebarkan melalui berbagai media, karya mereka bisa lebih cepat dikenal dan sampai ke masyarakat.
Cara selanjutnya adalah mengelola dana-dana negara, swasta, atau bekerjasama dengan seniman lintas kreasi/seni rupa. Jika bekerjasama dengan seniman lintas kreasi, output dari sebuah ide yang dihasilkan bisa beragam; bisa berbentuk film, lagu, buku, atau seni rupa. Jadi, jika ide-ide yang sudah dihasilkan dalam tahap development bisa ditindaklanjuti dengan tepat, maka ide pokok tersebut bisa diwujudkan dalam beberapa bentuk karya yang berbeda, tetapi esensi dan nyawa dari karya tersebut serupa. Contohnya adalah ide yang dimunculkan dalam film Another Trip to The Moon karya Basbeth. Selain diproduksi sebagai film, Another Trip to The Moon juga dibuat dalam bentuk buku dengan judul Perjalanan Lain Menuju Bulan.
Secara singkat, para sineas film indie di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, menjadikan festival-festival film sebagai media distribusi dan promosi utama bagi karya-karya mereka. Di Yogyakarta sendiri, setiap bulan Desember, rutin diadakan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang juga jadi wadah bagi komunitas-komunitas film indie/alternatif untuk membentuk jaringan dan mempublikasikan film-film yang mereka hasilkan. Selain menggunakan festival film nasional sebagai ajang pemasaran film, para sineas film indie Yogya juga mengikuti festival-festival film internasional untuk mempromosikan karya-karya mereka. Sebut saja festival film yang diadakan di Rotterdam, Busan, Venice, Berlin, atau Cannes.
Selain menggunakan festival film sebagai ajang distribusi dan promosi, para sineas film indie Indonesia juga menggunakan media lain untuk mempublikasikan karya-karya mereka. Beberapa media/cara yang mereka gunakan antara lain memasarkan film mereka melalui media sosial (Twitter, Facebook, Instagram, Path, dan YouTube), website/kanal-kanal yang memasarkan film-film alternatif (Layaria, ID Film Center, Kineria, VidSee, Buttonijo, nonton.com) dan melalui press screening. Sedangkan dana yang mereka gunakan untuk biaya promosi biasanya berasal dari crowdfunding dan mengelola dana-dana negara, swasta, atau bekerjasama dengan seniman lintas kreasi/seni rupa.CATATAN: Rangga Saptya Mohamad Permana adalah dosen tetap di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di Program S-3 Film, Media, Communications and Journalism Monash University, Australia. Penulis biasa berkorespondensi melalui alamat email ranggasaptyamp@gmail.com