Oleh: Rangga Saptya Mohamad Permana, S.I.Kom., M.I.Kom
TAHUN 2022 adalah tahun yang berkesan bagi penulis. Pada 9 Februari 2022, akhirnya penulis dapat meninggalkan Bandung, Indonesia dan bertolak ke Melbourne, Australia untuk melanjutkan studi S-3 di Monash University. Seharusnya penulis sudah berangkat ke Melbourne sejak Oktober 2020, namun karena ditutupnya perbatasan negara oleh Pemerintah Australia sejak Maret 2020 akibat pandemi Covid-19, penulis harus menunda keberangkatan yang sebelumnya telah direncanakan. Penantian panjang selama hampir 1,5 tahun akhirnya terbayarkan setelah Negara Bagian Victoria, Australia resmi membuka perbatasan mereka pada Desember 2021.
Perjalanan menuntut ilmu ini adalah pengalaman pertama penulis tinggal dalam waktu lama di luar negeri. Hal tersebut membuat penulis sedikit khawatir sekaligus penasaran, apa saja yang akan penulis hadapi ketika sampai di Melbourne dan tinggal di sana. Ditambah lagi, penulis menyadari bahwa beberapa bulan setelah penulis tiba di Melbourne, penulis akan menghadapi Bulan Ramadan, yang pada tahun 2022 jatuh pada awal April. Ini juga akan menjadi Ramadan pertama penulis di luar negeri, jauh dari keluarga dan orang-orang terderkat, yang pada Ramadan-Ramadan sebelumnya menemani penulis menjalankan ibadah-ibadah di Bulan Ramadan.
Pada tahun 2022, Ramadan di Australia jatuh pada musim gugur, tepatnya dari awal April hingga awal Mei. Idulfitri sendiri jatuh pada tanggal 2 Mei. Durasi berpuasa pada musim gugur di Melbourne tidak terlalu jauh berbeda dengan di Indonesia, sekitar 11-12 jam sehari. Penulis tidak merasakan perbedaan signifikan, selain cuaca yang dingin dan seringkali menusuk kulit. Suhu harian pada Ramadan tahun lalu di Melbourne berkisar antara 12°-21°C, yang kadang pada beberapa waktu tertentu turun di bawah 10°C pada malam hari. Angin yang kencang, dingin dan kering menjadi tantangan penulis dalam beradaptasi pada saat itu.
Untuk menu berbuka dan sahur, penulis mengandalkan menu-menu yang sederhana dan mudah didapat di Melbourne. Untuk menu berbuka, biasanya penulis memasak telur atau daging disertai nasi putih. Selain itu, take-away makanan-makanan Asia seperti masakan Thailand dan masakan China yang halal juga menjadi andalan penulis untuk mengisi perut di kala berbuka. Tidak jarang pula makanan-makanan Western seperti ayam goreng crispy, burger, dan sandwich menjadi menu berbuka. Untuk menu sahur, biasanya penulis mengkonsumsi makanan yang lebih praktis, seperti mie instan, roti, dan buah-buahan. Untuk menjaga tubuh tetap fit di kala puasa, setelah sahur, penulis biasanya mengkonsumsi minuman herbal sachet khas Indonesia yang dijual di Asian groceries yang ada di Melbourne, seperti di swalayan Hongkong dan Laguna. Selain minuman herbal sachet, sebelum berbuka, penulis biasanya melakukan jogging sekitar 1-2 km di trek lari sekitar apartemen. Alhamdulillah, berkat hal-hal tersebut, kesehatan penulis terjaga selama menjalani puasa Ramadan 2022 di Melbourne.
Satu hal yang menarik dan yang penulis patut syukuri adalah banyaknya komunitas muslim di Melbourne, baik itu yang ada di lingkungan kampus penulis maupun komunitas-komunitas muslim diaspora berbagai negara. Di kampus penulis terdapat Monash University Islamic Society (MUIS) dan Monash Indonesian Islamic Society (MIIS). Kedua komunitas ini amat membantu penulis saat menjalani ibadah puasa Ramadan di Melbourne. Selain sering mengadakan event-event ibadah seperti shalat wajib dan tarawih berjamaah, seminar kajian Islam dan pengajian, kedua komunitas ini juga seringkali mengadakan iftar atau buka puasa bersama. Dalam iftar tersebut, penulis bisa menikmati takjil hingga beragam menu masakan yang disajikan.
Jika MUIS biasa menghidangkan menu-menu khas Timur Tengah dan Asia Selatan seperti nasi briyani, nasi mandi, roti nan, kari kambing atau kebab, MIIS biasanya menghidangkan menu-menu khas Nusantara di setiap hari Sabtu dan Minggu, mulai dari cendol, es buah, tahu isi, bakso, rujak, aneka sate, coto Makassar, hingga menu-menu yang biasa ada di rumah makan Padang. Menu-menu berbuka tersebut biasanya disediakan secara bergantian setiap minggu oleh komunitas-komunitas kedaerahan yang eksis di Melbourne, seperti Paguyuban Pasundan Victoria dan Minang Saiyo, di mana komunitas-komunitas tersebut menyediakan menu khas daerah masing-masing untuk disajikan sebagai menu berbuka puasa, yang biasanya diselenggarakan di Mesjid Westall. Mesjid ini beralamat di 130 Rosebank Ave, Clayton South VIC 3169, Australia.
Di Melbourne, penulis bermukim di wilayah Caulfield, berdekatan dengan kampus Monash University Caulfield. Salah satu komunitas muslim Indonesia yang jaraknya paling dekat adalah komunitas muslim Indonesia di Mesjid Westall. Walaupun mesjid ini adalah tempat komunitas muslim Indonesia, namun mesjid ini tidak eksklusif untuk orang-orang Indonesia saja. Seluruh umat muslim dapat hadir, beribadah, dan mengikuti kajian mingguan di sini, dari manapun ia berasal. Mesjid ini juga secara rutin menyelenggarakan iftar bersama setiap akhir pekan, pada hari Sabtu dan Minggu. Komunitas muslim Westall juga memberikan kesempatan pada umat muslim di Melbourne, khususnya orang-orang Indonesia, untuk menjadi volunteer atau relawan di mesjid; entah itu sebagai petugas parkir atau petugas kebersihan. Dari kegiatan volunteer dan weekend iftar inilah penulis mendapatkan banyak teman dan kenalan baru di Melbourne, terutama orang-orang Indonesia yang sama-sama sedang merantau di Melbourne, atau orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Melbourne. Selain itu, penulis juga berkesempatan untuk berkenalan dengan para mualaf yang merupakan orang-orang Australia. Hikmah lain yang didapat adalah terbukanya pintu rezeki, karena dengan koneksi rekan-rekan di Westall, penulis juga mendapatkan kesempatan untuk melamar pekerjaan casual di beberapa tempat yang direkomendasikan teman-teman di Westall.
Pengalaman merasakan Idulfitri pertama di luar negeri juga merupakan pengalaman yang menarik. Memang, di satu sisi, penulis merasa sedih karena tidak bisa berkumpul bersama keluarga dan orang-orang terdekat saat hari raya. Hal tersebut dapat sedikit terobati dengan melakukan video call bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Namun, di sisi lain, penulis mendapatkan pengalaman melaksanakan shalat Ied dan merasakan jamuan khas Lebaran seperti lontong opor, sambal goreng kentang, hingga bakso Malang di Konsulat Jenderal (konjen) Republik Indonesia di Melbourne-Victoria, Australia. Penulis berkumpul dan berlebaran bersama para diaspora Indonesia di Melbourne, baik itu sesama pelajar, pekerja dan staf konjen, maupun dengan orang-orang Indonesia yang telah lama bermukim di Melbourne. Berhubung Idulfitri bukan merupakan hari libur nasional di Australia, dan 2 Mei 2022 jatuh pada hari Senin, mayoritas pekerja dan mahasiswa Indonesia pada hari tersebut tetap menjalankan rutinitas harian seperti biasanya setelah shalat Ied dan berlebaran; baik itu yang bekerja maupun melaksanakan perkuliahan.
Begitulah sekelumit pengalaman pertama penulis merasakan berpuasa Ramadan dan merayakan Idulfitri di luar Indonesia. Tantangannya memang lebih besar, karena mayoritas masyarakat di Melbourne tidak menjalankan ibadah puasa dan tidak ada kompensasi apapun bagi mereka yang menjalankan ibadah puasa Ramadan. Selain itu, atmosfernya juga jauh dengan suasana Ramadan di Indonesia; yang paling kentara adalah tidak ada kumandang adzan, apalagi seruan dari speaker mesjid untuk melaksanakan santap sahur. Namun, di balik itu semua, penulis merasa bersyukur karena bisa berkenalan, menambah teman, dan menjalin silaturahmi serta persaudaraan dengan sesama umat muslim di Melbourne, khususnya dengan orang-orang Indonesia yang “senasib” dengan penulis. Himah lainnya, penulis merasa bahwa Idulfitri pertama di negeri seberang benar-benar bisa dimaknai sebagai “Hari Kemenangan”—menang dari hawa nafsu, godaan, cuaca, lingkungan, kesendirian dan rasa rindu.(*****
Komentar