Penulis: Dr. Elis Suryani Nani Sumarlina, M.S. (Dosen Filologi pada Departemen Sejarah dan Filologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.)
ACUNGAN jempol layak diberikan kepada organisasi Wanita Sunda di manapun berada, yang berkiprah ikut serta ngaraksa, ngariksa, tur ngamumulé budaya Sunda. Mengapa tidak? Di era kasajagatan, yang penuh dengan pengikisan terhadap unsur budaya asli daerah oleh budaya asing, hal tersebut layak dilakukan. Kiprah para ibu ikut serta mengikuti seminar, pelatihan, maupun pengembangan basa indung, dalam hal ini bahasa Sunda, agar bahasa Sunda bertahan, lestari, bahkan semakin berkembang, serta tetap menjadi bahasa indung ‘ibu’ yang senantiasa ‘ada’ dalam ati sanubari ‘hati yang paling dalam’ setiap insan Sunda, serta menjadi kareueus ‘kebanggaan’ pemakainya. Selain itu, memberi pengetahuan berkenaan dengan undak-usuk bahasaSunda, yang selama ini dianggap ‘sulit’ dan menjadi ‘kendala’ dalam proses komunikasi berbahasa Sunda di masyarakat, berkaitan dengan peringatan bahasa Ibu se dunia.
Maju mundurnya bahasa Ibu, berkelindan erat dengan fungsi dan peran ‘ibu’ sebagai orang tua, pendamping suami, serta pendidik bagi anak-anaknya dalam keluarga. Ibu sebagai ujung tombak dan garda terdepan dalam mendidik anak di rumah, memiliki peran yang sangat dominandalam upaya ngawanohkeun ‘mengenalkan’ dan mengajarkanbahasa Sunda kepada anak dan keluarganya. Pengenalan bahasa Ibu di rumah sangat dibutuhkan, yang tidak mungkin diajarkan di sekolah, apabila melihat kurikulum yang ada selama ini. Anak tidak mungkin mendapatkan pengajaran bahasa Sunda yang mendalam dan menyeluruh di sekolah, yang hanya diajarkan mungkin satu kali dalam seminggu. Untuk itulah, peran seorang Ibu (di samping ayah tentunya), berkewajiban mengajak anak dan seluruh keluarga untuk membiasakan diri berbicara menggunakan bahasa Sunda, agar bahasa Sunda lebih ‘dini’ dikenali sebelum mereka mengenal bahasa Indonesia. Dengan demikian, anak akan memiliki kemampuan dua bahasa bahkan lebih sekaligus, serta tidak melupakan bahasa ibunya
Menggunakan bahasa Sunda yang baik dan benar, sesuai dengan kaidah tatakrama dan undak usuk basa Sunda harus disepadankan dan disertai dengan rengkuh, paroman, lentong, dan tagog. Namun, seiring perkembangan zaman, sertaagar generasi muda Sunda mau menggunakannya, karena dianggap ‘sulit’, maka dalam implementasinya, undak-usuk bahasa tersebut dari lima panta ‘tingkatan’, hanya dua yang dipakai, yakni bahasa kasar dan bahasa lemes/halus, sebagaimana yang pernah dikemukakan Ajip Rosidi, meskipun dalam pelaksanaan kini, ada yang ya dan ada yang tidak.
Bahasa Sunda yang hidup dan digunakan oleh masyarakat Sunda, tentu akan tetap hidup meskipun dipengaruhi oleh bahasa lain. Dalam penggunaannya, undak usuk basa Sunda tidak bisa dilepaskan dari kesalehan sosial penggunanya, kepada siapa, di mana, bagaimana memperlakukan orang yang diajaknya bicara ketika berkomunikasi. Penggunaan bahasa Sunda berdasarkan kesalehan sosial, selayaknya tidak pilih kasih, hanya karena melihat ‘keadaan’ orang yang diajak bicara. Saat ini, sebenarnya sudah tidak ada lagi kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata dalam penggunaan bahasa. Meskipun bahasa Sunda memiliki undak-usuk bahasa atau ada panta-pantanya, tapi bahasa Sunda bersipat umum. Sejatinya kesalehan sosial kepada tamu yang datang, harus kita hormati. Ada peribahasa soméah hadé ka sémah, hade ku omong goréng ku omong. Jangan semua orang yang membawa map ke sebuah instansi misalnya, dianggap ‘peminta-minta’ sumbangan, ada maunya, sehingga tidak dilayani dengan baik, disuruh berdiri di luar, padahal cuaca hujan. Bahkan tamu yang belum dikenal dianggap ‘pesuruh’ pengantar surat. Di mana kesalehan sosialnya? Berkomunikasi dengan teman kerjanya kasar, bicara seenaknya kepada tamu. Mana tatakrama dan kesalehan sosialnya? Gunakan kesalehan sosial dalam berkomunikasi, apalagi menggunakan bahasa Sunda, kudu bener éntép seureuhna tur undak usukna. Berbicara baik kepada orang lain, sama dengan menghargai diri sendiri. Semoga tidak ada lagi yang mendeskriditkan orang lain hanya melihat penampilannya, belum tentu orang yang kita remehkan itu lebih rendah derajatnya dari dirinya. Gunakan bahasa apapun disertai kesalehan sosial. Semoga Basa Sunda tetep nanjeur tur nanjung komarana!
Komentar