oleh

KDRT Menuju Generasi Emas

Oleh: Teddy Fiktorius, M. Pd.

(Guru Bahasa Inggris SMP-SMA Bina Mulia Pontianak, Kalimantan Barat)

 

APA yang terlintas di benak kita ketika mendengar istilah “KDRT”? Keretakan rumah tangga, kah? Kehancuran rumah tangga, kah? Lalu, apa reaksi kita? Terkejut? Terpukul?

Sangat wajar jika kita bereaksi demikian terhadap gambaran kekerasan yang terkandung dalam akronim “KDRT”. Miris rasanya untuk mengetahui bahwa pihak yang paling dirugikan adalah anak-anak. Jika sudah demikian, masa depan mereka menjadi taruhan. Masa depan mereka suram, suramlah hari esok peradaban bangsa ini.

Sugesti negatif yang tercermin di dalam akronim “KDRT” sepantasnya kita buang. “KDRT” hendaklah kita maknai sebagai KASIH Dalam Rumah Tangga; KASIH Dalam Rukun Tetangga. Kita mesti yakini bahwa kasih harus hadir di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, terutama ketika keterlibatan kita dalam pendidikan anak menjadi harga yang tidak dapat ditawar.

Pemikiran logisnya kemudian berubah haluan. Bahwa kita dipenuhi kebahagiaan mengetahui hadirnya kasih dalam keluarga dan masyarakat. Bahwa anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter. Bahwa mereka akan terbentuk sebagai generasi emas penerus bangsa. Jika demikian, niscaya Indonesia akan menjadi bangsa yang lebih kuat sebagaimana McKinsey Global Institute perkirakan, yakni perekonomian Indonesia dapat menduduki peringkat 7 dunia pada tahun 2030 jika didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang handal.

Data Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan ada 429.768 satuan pendidikan yang menampung 67.891.533 peserta didik dari 42.972.397 keluarga. Data ini sangat menjanjikan. Bagaimana tidak? Jumlah peserta didik di Indonesia 15 kali lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk Selandia Baru atau 12 kali lebih banyak dari jumlah penduduk di Singapura! Bayangkan sekuat apa bangsa ini jika mereka semua menjelma menjadi SDM yang produktif pada tahun 2030!

Lalu, mengapa “KDRT” itu harus kita wujudkan dalam pendidikan anak sejak dini bahkan sebelum usia sekolah? Ibarat sebuah kayu. Kayu yang masih muda akan jauh lebih mudah dibengkokkan dibandingkan dengan kayu yang sudah  tua dan keras. Analogi ini mengajarkan satu pelajaran bahwasanya mendidik anak-anak sebaiknya dimulai sejak awal sehingga pendidikan kepada mereka akan membekas sampai usia dewasa. Konsekuensi logisnya adalah bahwa tugas mendidik para guru di satuan pendidikan nantinya akan jauh lebih ringan. Anak-anak yang akan mereka tangani di kelas kelak adalah mereka yang sudah berbekal banyak dari keluarga dan masyarakat.

Semua orang tua pasti mengasihi anaknya, namun bagaimana kasih itu berwujud? Pertama, “KDRT” dapat direalisasikan dalam bentuk KASIH dalam tutur kata. Upaya mendidik anak-anak yang kita lakukan di lingkungan masyarakat harus menghindari perkataan kasar. Sugestilah mereka dengan kalimat-kalimat bernilai positif yang mampu membuat mereka percaya diri dan termotivasi. Jangan terlalu banyak berkata “jangan” atau “tidak”. Terlalu sering menggunakan “jangan” atau “tidak” sama saja membatasi kreatifitas mereka. Mereka tidak bergerak bebas di dalam lingkungan tumbuh kembang mereka.

Kedua, “KDRT” dengan wujud KASIH dalam perbuatan. Mendidik anak-anak tidak hanya sekadar penyampaian bahasa lisan. Tindakan nyata yang dapat dilihat dan dirasakan akan lebih berbekas dalam diri mereka. Keteladanan orang tua memegang peranan penting. Anak-anak adalah peniru handal. Kebiasaan merokok, misalnya, adalah keteladanan yang buruk. Tidak pelak lagi, anak akan melihat, mempelajari, dan meniru perbuatan merokok tersebut.

Ketiga, “KDRT” berwujud KASIH dalam kebersamaan (quality time). Waktu bersama yang anak-anak habiskan dengan orang tua merupakan proses pendidikan yang berharga. Biarkan saja mereka bereksplorasi untuk mengisi otak mereka dengan beragam stimulus. Membiarkan di sini bukan berarti melepaskan dengan sebebas-bebasnya, akan tetapi dalam pengawasan. Sebagai orang tua, kita tetap memantau apa yang mereka kerjakan. Tanggung jawab pengawasan terhadap mereka berlangsung sepanjang 24 jam.

Keempat, “KDRT” berbentuk KASIH dalam keimanan kepada Tuhan. Kaitannya dengan peran keluarga dan masyarakat dalam pendidikan anak adalah bahwa kita perlu menanamkan keimanan dan ketaatan kepada-Nya. Hal ini memastikan agar di mana saja anak-anak berada, mereka akan merasa selalu diawasi oleh-Nya. Pada akhirnya, ketaatan mereka muncul karena kesadaran pribadi. Didiklah mereka sejak dini perihal ajaran-ajaran pokok tentang hubungan manusia dengan Tuhan sebelum mereka mempelajari hal-hal lain. Pendidikan yang berasaskan agama membantu mereka untuk menjadi pribadi berakhlak mulia.

Keempat wujud “KDRT” di atas secara praktis mencerminkan sinergisitas peran orang tua dan masyarakat dalam pendidikan anak. Anak tidak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal dengan sendirinya, namun memerlukan bimbingan yang tepat dari lingkungan terdekatnya. Lingkungan terdekat tersebut adalah keluarga dan masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan anak di satuan pendidikan akan terasa hambar tanpa hadirnya keterlibatan keluarga dan masyarakat. Kehadiran ini terasa semakin manis ketika ditampilkan dengan penuh kasih.

Dalam waktu dekat ini, bendera merah putih akan dikibarkan di seluruh pelosok nusantara. HUT RI ke-73 akan segera tiba. Mari kita hadiahi bangsa tercinta ini dengan semangat mendidik anak bangsa dengan penuh kasih. Kita satukan hati, bulatkan tekad, dan singsingkan lengan baju, niscaya generasi emas akan menjadi kado terindah tatkala bangsa Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-100 pada tahun 2045. Semoga.(***)

Komentar