oleh

Kesedihan yang Terpendam

Karya : Dea Yuliyanti

DALAM jarak bersama waktu, setiap kebahagiaan terlukis dalam angan-angan. Entah apa yang menjadi kendala hingga indah itu tak sempat menampakan dirinya. Tersembunyi dalam lorong kegelapan. Tak ada yang melihatnya seakan-akan ia pergi lalu sirna begitu saja. Aku.. terjebak dalam asumsi kelam yang terperangkap di ruang nan jauh dari suara kebahagiaan. Tak ada yang ku dengar selain suara sepi yang tak mampu terelakan.

Andai saja boleh ku katakan, sekilas tentang rasa yang menjadi penghalang dalam hidup. Ingin sekali ku curahkan semuanya, tetapi apa daya aku memang sudah terbiasa dengan kesendirian ini. Meratapi dan hanya menunggu kenyataan yang tak bisa mengubah jalan pikiranku. Tatkala itu tak menjadi apa yang ku harapkan, haruskah aku terus terpuruk dalam pedih di dalamnya? Ajarkan aku kuat! Semakin aku berharap, semakin terjatuh berulang-ulang.

Sejuta kenangan ataupun ribuan history yang terukir, telah menjadi serpihan layaknya kertas yang terbang terbawa angin. Hanya meninggalkan pesan yang mungkin sulit ditafsirkan. Kini, tinggal seuntai kata penuh arti yang menjadi butir pilu dari sepintas tentang cerita dahulu.

Melawan setiap ego yang menyelinap, dan meng-handle rasa pedih yang menerkam, ku akui, itu terlalu sulit. Tentang tawa yang berujung kesal, tak dapat terpungkiri akhirnya. Senyum ini adalah bukti bahwa untuk yang ke sekian kalinya aku mampu meluapkan lelahnya perjuanganku dan menghadapinya dengan cara yang terindah. Ku jadikan senyum ini,  untuk sejenak melepas penat. Meskipun lirih hati menjadi pengganggu abadi yang tak dapat menyelaraskan dengan keadaan, tapi setidaknya kesal ini sedikit terobati.

Tak bisa ku jelaskan betapa diriku semakin menjelajah jauh bersama cerita yang ku bangun dalam halusinasi. Aku ikuti alur ceritanya, berjalan bersama keindahan yang ku ciptakan di mimpiku sendiri. Permainan dunia ini seperti tiada berujung. Haruskah tetap ku jadikan indah itu sebagai harapan yang melengkapi keluh kesahnya perjalanan.

Semua hal memang butuh penantian. Tatkala sinar hati tak mampu menyinari gelapnya duka, perlu waktu untuk membuat sinar itu semakin terang dan menyelipkan secercah harap untuk kegelapan. Meskipun mentari akan tenggelam, aku masih punya malam untuk menggapai bintang dan rembulan. Tentu saja, untuk apa yang terjadi esok nanti biarlah waktu yang menjawabnya.

Aku pernah menjalin lara dengan derita, menuai kata yang menghipnotis setiap duka dan perasaan, menjadi bagian dalam terang gelapnya jalan hidup.  Aku biarkan lamunanku terhanyut dalam kebinasaan. Akan cerita yang berkenan menjadi luka, aku biarkan dia tetap hidup dalam kalbu seperti bunga yang ku biarkan mekar meskipun tertimpa hujan. Tak ada yang lebih menyakitkan dari menyembunyikan perasaan.

Hingga sore itu kala senja mulai terpancar, cahaya yang berbinar-binar ku lihat jauh di pelosok sana. Ya, sisa cahaya mentari itu yang setia menemani. Ku lantunkan syair yang tertulis dalam doaku, terimakasih untuk setiap luka dan bahagia yang selalu mengiringi langkahan kaki ini. Hati yang tergores, akan ku perbaiki pun dengan raga yang rapuh ku bangun menjadi hal yang utuh kembali. Apa saja akan ku lakukan, hingga kebahagiaan tak kan pudar dan tak dapat pergi lagi dari hidupku. Hingga pada saatnya ku katakan, selamat tinggal air mata.

Komentar