oleh

Metode Istinbāṭ Bahtsul Masa’il NU

Oleh: Dian Rahmat N, SHI,M.Sy  (Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

NAHDHATUL Ulama (selanjutnya disingkat: NU) merupakan salah satu organisasi keagamaan dengan basis masa terbesar dan tersebar secara luas di seluruh pelosok penjuru tanah nusantara. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila banyak kalangan mengatakan bahwa NU merupakan salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. NU memiliki basis masa dengan tipologi atau ciri khas yang unik dan berbeda dengan kebanyakan basis masa organisi keagamaan lain pada umumnya. Keunikan pengikut NU atau yang biasa disebut dengan “warga NU” yakni adanya ikatan patronase kuat dengan para elitnya, terutama para Kyai pondok pesantren. Pola ini terbangun karena warga NU adalah masyarakat yang secara umum mempunyai ikatan emosional, kultural maupun struktural dengan kalangan pesantren sebagai lajnah (lembaga) penyokong utama NU. Kuatnya ikatan antara NU dengan pesantren seakan bisa diilustrasikan bahwa NU adalah pesantren besar, sedangkan pesantren adalah NU kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, apabila ingin mengetahui corak dan metodologi pemikiran NU, maka sudah dipastikan kita dapat menelitinya melalui pesantren-pesantren yang berafiliasi kepada NU.

Sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia2, NU  semenjak kelahirannya hingga kini memiliki peran dan andil besar, tidak hanya dalam konteks kemasyarakatan –dalam hal ini umat Islam—namun juga dalam konteks kebangsaan. Dalam konteks kemasyarakatan, NU sebagai organisasi keagamaan memiliki peran dalam menampung dan memberikan solusi terhadap problem-problem keagamaan yang dihadapi warganya. Guna kepentingan itulah, NU membentuk suatu forum yang fokus dalam mengkaji persoalan yang diajukan dan menetapkan suatu hukum keagamaan dari persoalan yang diajukan. Bagi NU, forum nahtsul Masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum yang sarat dengan muatan kitab-kitab klasik, tetapi juga merupakan lembaga di bawah NU yang menjadi kawah candradimuka dan diskursus antar intelektual NU. Karena itu juga, berkaitan langsung dengan kebutuhan hukum agama bagi warga Nahdhiyyin itu sendiri dan masyarakat pada umumnya. Bahtsul Masa’il yang merupakan bagian dari fatwa-fatwa hukum yang dihasilkan tentu akan tersosialisasi ke daerah-daerah dipelosok tanah air. Bahkan bagi masyarakat NU yang awam, keputusan Bahtsul Masail ini dianggap sebagai rujukan dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari. Keterlibatan ulama-ulama NU dalam lembaga ini sangatlah signifikan mengingat tugas berat yang harus diselesaikan

Forum bahtsul masail NU yang secara embrio telah ada jauh sebelum NU lahir, kemudian diformalkan dalam bentuk suatu lembaga yang ada di NU yaitu Lembaga Bahtsul Masail (LBM) sebagai perangkat organisasi NU untuk melaksanakan program yang memerlukan penanganan khusus, dalam hal ini berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan yang ada dan berkembang dimasyarakat untuk dicarikan jawaban hukumnya memiliki corak dan metodologi tersendiri yang khas dan berbeda dengan badan-badan serupa pada organisasi keagamaan lainnya. Oleh sebab itu, didalam penyusunan makalah ini, penulis hendak mengkaji dan menguraikannya secara dalam terkait metode istinbāṭ4 pada bahtsul masail NU.  

STUDI LITERATUR

Kajian tentang NU, memang sudah banyak dilakukan oleh para peneliti, baik yang terpublikasikan maupun tidak. Baik yang berbentuk karya tulisan ilmiah (skripsi, tesis, maupun desertasi), buku, maupun jurnal ilmiah dengan berbagai tema dan pembahasan. Akan tetapi penelitian yang cenderung menyelami secara detail kajian istinbāṭ NU dalam bahṩul masāil dapat dibilang masih sedikit, berikut ini beberapa penelitian yang masih memiliki keterkaitan pembahasan dengan makalah ini:

Ahmad Zahro dalam bukunya yang berjudul “Lajnah5 Bahts al- Masa’il Nahdlatul Ulama 1926-1999, Tradisi Intelektual NU”. Buku yang awalnya disertasi ini mengulas tentang eksistensi dan produk fatwa atau keputusan hukum yang dilahirkan oleh Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama sejak berdirinya organisasi ini pada tahun 1926 M sampai dengan tahun 1999 M. Secara substantif, kajian dalam buku ini mengarah pada studi tentang Lembaga Bahtsul Masail NU, yang merupakan satu forum kajian yang membahas berbagai persoalan keagamaan Islam di lingkungan organisasi yang secara fiqh berafiliasi pada empat imam mazhab (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Dan lebih spesifik lagi, buku ini mencoba melakukan analisis kritis terhadap kitab-kitab yang menjadi rujukan dalam forum bahtsul masail, yang biasa disebut sebagai al-kutub al- mu’tabarah, metode istinbāṭ hukum yang digunakan, serta keputusan hukum yang dihasilkan.

Ahmad Khoirul Anam dalam tesisnya yang berjudul Pola Istinbāṭ Hukum dalam Nahdlatul Ulama (Kajian Hasil-hasil Bahtsul Masa`il 1992-2010). Penelitian ini lebih berfokus pada lahirnya keputusan mengenai sistem pengambilan keputusan hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama dalam Munas Alim Ulama NU 1992 di Bandar Lampung, serta penerapan keputusan tersebut dalam forum-forum Bahtsul Masa’il yang dilakukan. Ia berkesimpulan bahwa lahirnya sistem pengambilan keputusan tersebut merupakan klimaks dari gerakan- gerakan pembaharuan yang digelontorkan oleh kalangan kyai muda NU semenjak tahun 1980-an. Gerakan yang menuai pro dan kontra di kalangan kyai muda dan kaum intelektual pesantren ini bermula dari kegelisahan kaum muda mengenai perlakuan yang berlebihan kalangan pesantren terhadap khazanah ulama (kitab kuning) yang ditulis pada puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Secara teknis mengarah pada forum bahtsul masa’il sebagai forum pengambilan keputusan yang dinilai sering tidak peka terhadap berbagai problem yang berkembang di masyarakat, dan sering mengecewakan karena tidak berhasil membahas kasus yang diajukan oleh masyarakat hanya karena tidak ada petunjuk atau ta’bīr dari kitab-kitab mu’tabarah, atau kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan dalam bahtsul masa’il.

Imdadun Rahmat dalam buku yang dieditorinya yang berjudul Kritik Nalar Fiqh NU. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa orang pakar tentang berbagai aspek dan pemikiran hukum di kalangan ulama NU. Buku ini diberi pengantar oleh K.H. M.A. Sahal Mahfuzh, dengan judul “Bahtsul Masa`il dan istinbāṭ Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek”. Buku ini dibagi oleh penulisnya dalan 3 (tiga) bagian. Dalam bagian ketiga dan ini yang penting, ia beri judul, Kritik dan Tawaran: Menjembatani Cita dan Realita. Bagian ini beirisi 5 (lima) tulisan; yakni : Pertama, berjudul, Epistemologi Hukum Islam Perspektif NU oleh M. Ishom El Saha; kedua, ”Bahtsul Masa`il Fiqhiyyah NU: Antara Ide dan Fakta, oleh A. Chozin Nusuha; ketiga, Tradisi Bahtsul Masā`il NU: How Low Can You Go, oleh Sumanto al-Qurthubi; keempat, Menyoal Efektifitas Bahtsul Masa`il oleh Khatib Soleh; dan Fungsionalisasi Ushul fiqh dalam Bahtsul Masa`il NU oleh Afifuddin Muhajir dan Imam Nahe’i.

Muhammad Ulil Abshor dalam tulisannya yang berjudul “Dinamika Ijtihad Nahdlatul Ulama (Analisis Pergeseran Paradigma dalam Lajnah Bahtsul Masail NU)”. Tulisan yang merupakan jurnal ilmiah ini berkesimpulan bahwa Keputusan untuk tetap bermazhab sekalipun dengan manhājī setidaknya mengindikasikan dua hal: pertama, NU sangat menghormati ulama-ulama masa lalu. Kesadaran akan belum adanya jawaban atas persoalan-persoalan kontemporer pada pendapat masa lalu tidak harus membuang jauh-jauh karya ulama yang memang diyakini memiliki kredibilitas dan komitmen moral yang tinggi. Kedua, secara substansial sebenarnya NU bisa dikatakan telah melakukan ijtihad, namun NU tidak mau terjebak pada prilaku ‘ijtihad buta’. Istinbāṭ hukum terhadap kasus baru yang tidak didapatkan jawabanya dalam kitab-kitab rujukan mereka harus dikerjakan dengan metodologi yang jelas dan kualifikasi pelaku ijtihad yang memadai. Dengan demikian, metode ijtihad yang dikembangkan oleh NU adalah ijtihad yang tetap apresiatif pada karya-karya ulama terdahulu, dan dengan tanpa menegaskan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.

Sukron Ma’mun dengan tulisannya yang berjudul “Ilhāq Dalam Batsul Masa’il NU: Antara Ijtihād dan Ikhtiyāt”. Dari hasil penelusurannya mengungkapkan bahwa metode ilhāq yang dirumuskan oleh ulama Nahdliyyin dalam forum Bahtsul Masail NU merupakan metode ijtihad hukum yang nyaris sama dengan qiyās. Ilhāq memiliki rukun sebagaimana qiyās, yakni dari mulhaq bih, mulhaq, wajh al-ilhāq oleh para ahli, dan kesamaan ‘illah hukum. Tidak berlebihan jika kemudian ilhāq dianggap sebagai qiyās ala Nahdliyyin. Dalam ranah ushiif!Jyah-, ilhaq meniadi perdebatan bagi sebagian ulama mazhab. Ifhdq boleh dilakukan namun di lain pihak ilhdq tidak boleh dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Hal yang utama dalam penggunaan ilhaq adalah upaya

kreatif yang tidak menyalahi ketentuan ushuliyyah sehingga tujuan hukum tetap dapat dicapai, dan ilhāq dapat memberi kontribusi terhadap hukum Islam berupa upaya perluasan metode hukum Islam.

Definisi Bahtsul Masail NU

Bahtsul Masail merupakan bentuk ringkas dari istilah baḥṭ al-masā’il al- dīniyah (penelitian atau pembahasan masalah-masalah keagamaan). Forum Bahtsul Masail pada NU ini merupakan suatu kegiatan diskusi atau musyawarah di kalangan warga NU untuk mencari jawaban hukum terhadap masalah-masalah agama yang belum diketahui ketetapan hukumnya. Kegiatan ini kemudian diberi wadah tersendiri yaitu Lembaga Bahtsul Masail (selanjutnya ditulis LBM-NU) yang bertugas menampung, membahas dan memecahkan masalah-masalah keagamaan yang mauḍū`iyah (konseptual) dan masalah-masalah keagamaan yang waqī’iyah (aktual) yang memerlukan kepastian hukum.6

Dari definisi tersebut Abu Zahroh dalam bukunya “Tradisi Intelektual NU” memberikan definisi secara lebih luas menyangkut LBM-NU, yaitu salah satu lajnah (lembaga) dalam Jam’iyyah Nahdhatul Ulama yang berfungsi sebagai suatu forum pengkajian yang membahas berbagai masalah keagamaan (Islam) yang muncul disuatu masyarakat, baik sifatnya individu, kelompok, maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara untuk dihimpun, dibahas secara tuntas dan menghasilkan suatu kepastian hukum fiqih dengan mengacu kepada empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi ‘i dan/atau Hanbali. Dari definisi tersebut di atas, ada beberapa simpulan yang dapat penulis uraikan berikut:

Pertama, forum pengkajian. Bahwa LBM-NU dalam mengkaji suatu masalah berbentuk sebuah forum yang didalamnya terdiri dari para cerdik cendekiawan, baik dari kalangan ulama maupun intelektual;

Kedua, masalah keagamaan. Penggunaan istilah ini sebagai bentuk pembatasan bahwa tidak semua problem yang muncul dimasyarakat dijadikan sebagai objek pembahasan pada forum tersebut. Hanya masalah yang berkaitan dengan agama saja yang menjadi objek kajian tersebut.

Ketiga, kepastian hukum fikih. Jawaban–jawaban yang dihasilkan dalam forum tersebut merupakan hasil penelaahan dan pemahaman anggota forum terhadap teks-teks kitab fikih (baca: kitab kuning) yang dijadikan rujukan dan sandaran terhadap jawaban atas permasalahan yang dibahas. Penekanan kalimat “kepastian hukum fikih” sebagai titik perbedaan metodologi yang digunakan LBM-NU dengan lembaga-lembaga serupa pada organisasi keagamaan lain, semisal Muhammadiyyah ada Majelis Tarjih, Persatuan Islam (Persis) ada Dewan Hisbah, dan al-Jāmi’ah al-Washliyyah ada Dewan Fatwa.

Keempat, mengacu kepada empat mazhab. Acuan anggota forum terhadap teks-teks fikih tersebut hanya dibatasi pada kitab-kitab yang berafiliasi kepada ahlusunnah waljama’ah. Sehingga kitab-kitab yang diluar lingkaran ahlusunnah waljama’ah tersebut tidak digunakan (kalau tidak dikatakan ditinggalkan).

Dengan realita tersebut menunjukkan bahwa Bahtsul Masail NU sangat kental dengan corak pemikiran fiqih yang dihasilkan oleh para ulama mujtahid, sehingga kesan yang muncul adalah tidak adanya kreasi ijtihad yang dilakukan oleh LBM-NU dalam menjawab problem sosial keagamaan yang ada pada masyarakat. Akan tetapi disisi lain, dengan sikapnya tersebut, menurut M. Ali Haidar dalam bukunya “Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih Dalam Politik Nahdlatul Ulama” secara teoritis memiliki keleluasaan menerapkan kebijaksanaan jam ‘iyyah (organisasi) nya untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul, sehingga tidak rigid (kaku), karena mempunyai banyak altematif dari pendapat-pendapat mazhab yang ada.8

Historitas Bahtsul Masail NU

Keberadaan Bahtsul Masail NU secara historis, embrionya sudah ada sebelum NU sebagai sebuah organisasi resmi berdiri pada tahun 1926 M., kala itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailat al-Ijtimā’ Nahdhāt al-Oelama). Bulletin LINO tersebut, selain memuat hasil bahtsul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis kemudian ditanggapi kiai lain, begitu seterusnya.10 Tradisi diskusi yang ada dipesantren menjadi embrio lahirnya forum Bahtsul Masail NU secara formal, baik secara lembaga maupun metodologi.

Secara historitas, apabila dirunut ke belakang menurut Martin van Bruinessen bahwa tradisi bahtsul masail yang berkembang di kalangan NU bukanlah murni dari gagasan para kyai-kyai NU. Jauh sebelum bahtsul masail berkembang di kalangan NU, tradisi seperti itu telah ada di Tanah Suci yang disebut dengan tradisi ḥalaqah. Ide bahtsul masail menurutnya adalah tradisi yang diimpor dari Tanah Suci Makkah. Para santri Indonesia yang belajar di Tanah Suci, sepulang dari sana mereka mengembangkan agama Islam melalui lembaga pendidikan yang mereka dirikan berupa pesantren sekaligus mengadopsi sistem ḥalaqah untuk mengkaji persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.11

Berdasarkan hasil penelusuran Ahmad Zahro bahwa dokumen- dokumen yang menginformasikan kelahiran dan perkembangan Lajnah Bahtsul Masai’l baik latar belakang, metode, objek, maupun pelaku sejarahnya masih sangat sedikit. K.H.A. Aziz Masyhuri sendiri, pimpinan PP. Al-Aziziyah Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, salah seorang tokoh pelaku dan yang membukukan sebagian hasil keputusan Lembaga Bahts al- Masail juga mengakui masih minim atau jarangnya warga Nahdhiyyin yang mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas NU.12 Hal ini bisa jadi karena adanya sikap pragmatis warga Nahdhiyyin, dalam arti, yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumen lain seperti latar belakang lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu, serta para ulama yang berperan di dalamnya tidak diarsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil keputusan Lembaga Bahtsul Masa’il.

Namun apabila ditinjau dari motivasi berdirinya dan anggaran dasar NU, maka sedikit dapat direkonstruksi latar belakang munculnya bahtsul masa’il (pengkajian masalah-masalah agama), yaitu adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (‘amalīy) bagi kehidupan sehari- hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masa’il. Dan bila ditelusuri hasil- hasilnya juga dapat diketahui bahwa bahtsul masā`il secara formal pertama dilaksanakan pada 1926, beberapa bulan setelah berdirinya NU.

Pada awalnya Bahtsul Masa’il yang ada di NU tidak dilembagakan layaknya sebuah organisasi yang mempunyai struktur organisaai dan agenda resmi. Namun untuk menjadikan Bahtsul Masa’il menjadi wadah yang lebih dinamis, maka sebagaimana yang dikatakan Zahro bahtsul masail resmi dibentuk sebagai salah satu lembaga NU pada Muktamar XXVIII di Yogyakarta tahun 1989, ketika Komisi I (Bahtsul masā`il ) merekomendasikan kepada PBNU untuk membentuk Lajnah Bahtsul Masā’il Dīniyyah (lembaga pengkajian masalah-masalah agama) sebagai lembaga permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan. Hal ini didukung oleh ḥalaqah (sarasehan) Denanyar yang diadakan pada tanggal 26-28 Januari 1990 bertempat di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar – Jombang yang juga merekomendasikan dibentuknya Lajnah Bahtsul Masā’il Dīniyyah dengan harapan dapat menghimpun para ulama dan intelektual NU untuk melakukan istinbāṭ jama’ī (penggalian dan penetapan hukum secara kolektif). Berkat desakan Muktamar XXVII dan halaqah Denanyar tersebut akhirnya pada tahun 1990 terbentuklah Lajnah Bahtsul Masā’il Dīniyyah berdasarkan Surat Keputusan PBNU Nomor 30/A.I.05/1990.13

Dari uraian sejarah berdirinya di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Bahtsul Masa’il NU dilihat dari segi proses dan metodologinya sudah ada dan mengakar dalam tradisi masyarakat pesantren jauh sebelum NU sebagai induk organisasi dibentuk secara resmi. Penyerapan tradisi pesantren dalam membahas persoalan-persoalan keagamaan sebagai salah satu lembaga resmi NU menunjukkan bahwa pesantren merupakan bagian integral dari NU, begitu pun sebaliknya. Maka wajar apabila terdapat sebuah adagium,bahwa apabila hendak melihat NU, maka lihatlah pesantren.

Kerangka Istinbāṭ Perspektif NU

Istinbāṭ dari segi etimologi berasal dari kata nabaṭa-yanbuṭu-nabṭun yang berarti “air yang pertama kali muncul pada saat seseorang menggali sumur”. Kata kerja tersebut kemudian dijadikan bentuk transitif, sehingga menjadi anbaṭa dan Istinbāṭa, yang berarti mengeluarkan air dari sumur (sumber tempat air tersembunyi). Al-Jurjani memberikan arti kata istinbāṭ dengan mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)14. Jadi kata istinbāṭ pada asalnya berarti mengeluarkan air dari sumbernya kemudian dipakai sebagai istilah fiqih yang berarti mengeluarkan hukum dari sumbernya, yakni mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas dengan ketajaman nalar dan kemampuan daya pikir yang optimal. Sebagaimana yang diungkapkan Muhammad bin ‘Ali al-fayyumi seperti yang dikutip Satria Efendi, mendefenisikan istinbāṭ sebagai upaya menarik hukum dari al-Quran dan sunnah dengan jalan ijtihad15.

Kata istinbāṭ terdapat dalam firman Allah QS. An-nisā/4: 83 dalam bentuk

fi’il muḍari sebagai berikut:

“Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. (Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. An-Nisā’/4:8

Para mufassirīn ampir secara keseluruhan menjelaskan bahwa yang dimaksud yastanbiṭūnah mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi (tidak jelas) dengan ketajaman pemikiran mereka.

Keterangan di atas menjadi acuan bahwa istinbāṭ merupakan upaya penggalian hukum syara dari sumber-sumber yang asli melalui pengerahan seluruh kemampuan daya nalar. Pengertian ini identik dengan pengertian ijtihad yang dikenal oleh ulama ushul fiqih. Namun demikian istinbāṭ menurut Imam al-Syaukani dianggap sebagai operasionalisasi ijtihad karena ijtihad dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah istinbāṭ 17.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat tarik kesimpulan bahwa istinbāṭ adalah suatu upaya menemukan hukum-hukum syara’ dari nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang dilakukan dengan dengan cara mencurahkan kemampuan nalar dan pikiran. Secara sepintas memang nampak ada persamaan antara pengertian istinbāṭ dan ijtihad. Namun pada hakekatnya antara istinbāṭ dan ijtihad terdapat perbedaan. Ijtihad mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan istinbāṭ, karena istinbāṭ merupakan kerangka kerja dari ijtihad. Fokus istinbāṭ adalah naṣ al -Qur’an dan as-Sunnah. Oleh karena itu, usaha pemahaman, penggalian dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbāṭ. Sedangkan pemahaman, penggalian dan perumusan hukum yang dilakukan melalui metode qiyās, istiṣhāb, dan istiṣlāh dan dalil rasional lainnya disebut ijtihad.

Berbeda halnya dengan konsep istinbāṭ di atas, bagi konteks NU sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Sahal Mahfudz, bahwa istinbāṭ bukan suatu upaya mengambil ketetapan suatu hukum langsung dari al-Qur’an maupun Hadits Nabi i, akan tetapi istinbāṭ yang dijadikan pegangan oleh NU adalah sesuai dengan sikap dasar bermadzhab, yakni dengan mengaplikasikan secara dinamis naṣnaṣ fuqaha dalam problem-problem kekinian yang diupayakan mencari ketetapan hukumnya. Oleh sebab itu, istinbāṭ dalam definisinya sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas lebih cenderung ranah perilaku ijtihad18, dimana bagi kalangan ulama NU, hal itu dirasa sangat sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki dan disadari oleh para ulama NU. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Sementara itu, istinbāṭ dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab- kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kata istinbāṭ di kalangan NU terutama dalam kerja bahtsul masa’il-nya tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan.

Secara definitif, NU memberikan definisi istinbāṭ hukum sebagai suatu upaya mengeluarkan hukum syara‘ dengan qawā’id aluṣūliyyah dan qawā’id al- fiqhiyyah, baik berupa adillah al-ijmāliyyah, adillah al-tafṣīliyyah maupun adillah al- afikām. Dengan demikian produk hukum yang dihasilkan merupakan hasil ijtihad ulama atas naṣnaṣ Al-Qur’an dan Sunnah yang sesuai dengan prinsip- prinsip ijtihad yang digunakan para Mujtahid masa lalu.Sejak awal pendiriannya secara resmi, LBM-NU telah menetapkan bermadzhab kepada salah satu dari keempat madzhab yang empat (al-mażāhib al-arba’ah). Hal ini karena bagi NU, matarantai (sanad) ilmu agama Islam, dapat diketahui dengan baik dan benar, manakala umat Islam menjalankan aktifitas keagamaanya dengan cara ikut (taqlīd) atau bermazhab kepada salah satu pendapat empat Mujtahid mazhab21, yang keberadaanya telah tersohor dan aliran mazhabnya sudah dikodifikasikan. Selain itu, bermazhab bagi NU adalah hukumnya wajib, hal ini dilakukan karena dikhawatirkan umat Islam mencampurkan antara yang ḥaq dan yang bāṭil, atau tergelincir dalam kesalahan, atau mengambil serta mengamalkan ajaran Islam yang mudah-mudah saja (at- tatabu’ al-rukhṣahṣah).

 Oleh karena itu, dalam pandangan NU, transmisi keilmuan atau matarantai keilmuan dianggap sebagai sebuah aspek integral dari konsep wasīlah, keperantaan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati, melalui guru-guru terdahulu dan sampai kepada Nabi i. Bahkan konsep sanad atau matarantai keilmuan agama sebagai aspek penting bagi kalangan Islam tardisional (NU)23.

Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Hadratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, bahwa dengan cara mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang empat, maka umat Islam akan mendapatkan kemaslahatan dan kebaikan yang lebih besar, sebab hukum Islam tidak akan dapat dipahami kecuali dengan proses istinbāṭ al-afikām (penggalian hukum) melalui sumber- sumbernya dengan benar. Sedangkan untuk memperoleh kebenaran dalam proses istinbāṭ al-afikām harus mengenali pendapat-pendapat sebelumnya supaya tidak keluar dari ijma‘. Dalam pengantar Undang-Undang Dasar NU disebutkan bahwa barang siapa menyebutkan ilmu dengan tidak menyebutkan sanadnya maka dia seperti pencuri.24 Hal itu menunjukkan untuk memutuskan suatu perkara, terutama untuk mengembangkan pemikiran yang berkaitan dengan ijtihad.

Oleh sebab itu, wajar kiranya term ijtihad tidak begitu popular di kalangan NU, ini disebabkan karena bagi NU kegiatan ijtihad merupakan hak otoritatif seorang yang telah mempunyai beberapa persyaratan yang telah ditetapkan oleh ulama ahli ushul. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi bagi seseorang yang berhak dan layak menjadi Mujtahid, seperti mampu menguasai Al-Qur’an dan ilmu- ilmu yang terkait dengannya, mampu menguasai hadits beserta ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya, menguasai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, menguasai ilmu uṣūl fiqh, menguasai maqāṣid al- syarī‘ah dan lain sebagainya. Dengan realitas itu, maka dalam tradisi NU, ijtihad seakan-akan telah tertutup dan tidak mungkin dilakukan oleh ulama-ulama sekarang karena tidak mempunyai kompetensi sebagaimana para Mujahid terdahulu. Melalui kerangka bermazhab inilah, maka pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran bermazhab.

Maka dalam tekhnis operasional bahtsul masail, NU menetapkan sejumlah istilah teknis yang merupakan bagian dari rangkaian dalam proses pengambilan keputusan hukum. Istilah-istilah tersebut adalah: pertama, al-kutub al-mu`tabarat; yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah Wal-Jama`ah.

Kedua, bermadzhab secara qawlī; yaitu mengikuti pendapat-pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkungan madzhab tertentu. Ketiga, bermadzhab secara manhājī; yaitu bermadzhab dengan mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang disusun oleh imam madzhab.

Keempat, qawl dan wajh. Qawl adalah pendapat imam madzhab; dan wajah adalah pendapat ulama madzhab; dan kelima, ilhāq al-masā’il bi nazhā’irihā, yaitu mempersamakan hukum suatu kasus atau masalah yang belum dijawab oleh ulama dalam kitab dengan masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab (menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”).26

Metodologi Istinbāṭ NU

Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada sub bab sebelumnya, bahwa dalam tradisi pemikiran NU, bukan berarti NU tidak menghendaki adanya ijtihad. Akan tetapi, ijtihad yang dikehendaki hanyalah ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Hal ini adalah untuk menghindari adanya taqlid dalam mengambil sumber hukum. Bagi NU, taqlid tidak hanya mengikuti pendapat orang lain tanpa ilmu, melainkan juga mengikuti jalan pikiran para imam mazhab yang menggali hukum. Adapun pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran mazhab. Maka, dalam hal ini Lembaga Bahtsul Masa’il tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak bagi ulama mujtahidin, melainkan memakai istilah istinbāṭ hukum dengan menggunakan metode maẓhābī.

Dalam mengaplikasikan pendekatan maẓhābī tersebut, Lembaga Bahtsul Masa’il menggunakan tiga metode istinbāṭ hukum yang diterapkan secara berjenjang, yaitu sebagai berikut.

  1. Metode Qauli

Metode qauli merupakan cara istinbāṭ hukum dengan mempelajari masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab mazhab yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Dengan kata lain, metode ini dilakukan dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah “jadi” dalam lingkup mazhab tertentu.27 Metode ini berarti sebuah cara penetapan hukum dengan cara merujuk pada kitab-kitab mu’tabarah dari para imam madzab. Konsep ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa hampir seluruh keputusan yang dihasilkan LBM-NU, pasti mencantumkan pendapat seorang imam madzhab. Ahmad Zahro mencatat bahwa dari seluruh keputusan Bahtsul Masail mulai dari 1926 hingga 1999, tercatat hanya 4 kali LBM-NU mencantumkan dalil dari al-Quran langsung.28

Metode memang sangat cenderung ḥarfiyyah (tekstualis) karena mengambil hasil ijtihad atau pendapat ulama madzhab untuk diaplikasikan secara apa adanya sesuai dengan bunyi teks kitab kedalam realitas sosial yang bisa jadi berbeda dengan kondisi dan realitas sosial dimana pada saat ulama madzhab tersebut hidup dengan konteksnya saat ini, khususnya umat Islam di Indonesia Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dijelaskan Ahmad Zahro bahwa fenomena ini terjadi karena NU gigih mempertahankan dan menaruh penghormatan yang besar terhadap karya ulama-ulama terdahulu. Hal ini berbeda dengan kaum modernis sepert Muhammadiyah yang cenderung menyelesaikan masalah langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits.30

Penetapan metode qauli oleh NU dalam Bahtsul Masailnya, pada ujungnya menjadikan NU “dicap” sebagai organisasi keagamaan yang kolot dan tradisional. Stigma tersebut muncul karena pengkategorisasian oleh pelaku peneliti sosial seperti Zamakhsyari Dhofier yang menyebutkan bahwa, pemikiran Islam tradisional adalah pemikiran-pemikiran yang masih terikat kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama ahli fiqh, Hadits, tasawwuf, tafsir dan tauhid yang hidup antara abad ke-7 M hingga abad ke 13 M.

Terlepas dari stigma “orgnaisasi tradisional”, keterikatan NU dengan pemikiran salah satu empat madzhab fiqih menurut hasil analisis Ahmad Arifi mengemukakan tiga alasan mengapa penganut mazhab (termasuk NU) memegangi pemikiran mazhab mereka hingga saat ini. Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pemikiran mazhab telah terbukukan secara sistematis sehingga mudah mempelajarinya.
    1. Kredibilitas imam mazhab dan kehebatan pemikiranya telah teruji oleh sejarah. Hal ini terbukti dengan diikutinya para imam mazhab oleh sebagian besar umat Islam di seluruh penjuru dunia.
    1. Mengikuti pemikiran imam mazhab memiliki nilai praktis dan pragmatis. Dengan mengikuti pemikiran mazhab tidak perlu bersusah-susah untuk memulai dari awal dalam mencari solusi dan menjawab permasalahan hukum yang dihadapi, apalagi ketika masalah tersebut menghendakisegera untuk diperoleh jawabanya.

Adapun prosedur pengaplikasian metode qauli ini dalam pemilihan qaul/ wajah dilakukan dengan cara berikut:

  1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat hanya satu qaul/wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.
  2. Ketika dijumpai beberapa qawl/wajah (pendapat) dalam satu masalah yang sama, maka dilakukan usaha memilih salah satu pendapat.
  3. Pemilihan salah satu pendapat dilakukan dengan tata urutan sebagai berikut:
    1. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan atau yang lebih kuat

2)  Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar NU ke-I, bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih:

  1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaykhān (al-Nawāwy dan al- Rāfi’i);
    1. Pendapat yang dipegangi oleh Nawawi saja;
    1. Pendapat yang dipegangi oleh Rafi’i saja;
    1. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama;
    1. Pendapat ulama terpandai;
    1. Pendapat ulama yang paling warā‘.

2.  Metode Ilḥāq

Adapun apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu`tabar, maka dilakukan apa   yang   disebut ilḥaqa al-masāil binaẓāirihā ( المسائل الحاق

بنظائرھها).    Secara     etimologi     kata     “ilḥāq”     berarti     “menyamakan,

menghubungkan”.32 Dilihat dari sisi semantiknya tersebut, ilḥāq memiliki kesamaan dengan makna semantik qiyās yang juga memiliki makna “menyamakan”. Begitupula secara tekhnis keduanya, memiliki kesamaan.Secara eksplisit dan resmi metode ilhaqiy baru terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali, maka dilakukan prosedur

بنظائرھا

المسائل

الحاق

secara ijmaliy oleh para

ahlinya. Adapun prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsur (persyaratan) berikut: mulḥāq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukum), mulḥāq ilayh (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukum), wajh al- ilḥāq (sifat yang mempertemukan antara mulḥāq bih dengan mulḥāq ilayh) oleh para mulḥiq (ulama penggali hukum).Secara hakikat, metode ilḥāq yang dirumuskan oleh ulama NU bukan satu metode yang merupakan murni produk pemikiran ulama NU sendiri, karena sebenarnya penggunaan ilḥāq telah dipraktikkan jauh sebelum ulama-ulama NU, yaitu pada periode ulama mażhab. Golongan ini lebih dikenal sebagai mujtahid mażhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam mażhab sebagai tempat ia bernaung, baik dalam masalah uṣul maupun furū’. Dan juga mengikuti temuan atau hasil ijtihad yang dicapai oleh imam mazhab dan tidak menyalahi apa yang ditetapkan oleh imamnya.35

Sedangkan secara terminologi, ada berbagai redaksi definisi oleh ulama NU, namun secara hakikat memiliki persamaan. Berikut definisi- defininya tersebut:36

  1. KH. Sahal Mahfudh

Beliau mendefinisikan ilḥāq dengan tanẓīr al-masā’il bi naẓā’irihā, yaitu menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum sesuatu yang sama, yang telah ada.37

b.   KH. Aziz Masyhuri

Ilḥāq merupakan suatu upaya menyamakan hukum suatu kasus atau masalah yang belum memiliki jawabannya didalam suatu kitab, dengan kasus atau masalah serupa, yang telah dijawab oleh kitab. Dengan kata lain ilḥāq adalah menyamakan suatu masalah dengan pendapat tentang suatu masalah yang sudah jadi.

c.   KH. Masdar Farid Mas’udi

Yaitu menyamakan suatu kasus yang berkaitan dengan fiqih dan belum terjawab oleh teks-teks kitab fiqh, dengan cara merujuk persoalan yang serupa, yang telah dibahas dalam kitab fiqh.

Dari beberapa definisi ilḥāq di atas dapat didefinisikan sebagai berikut:

“Menetapkan hukum suatu persoalan yang belum dijelaskan ketetapannya didalam kitab-kitab fiqih (mulḥāq ilayh) dengan cara menyamakannya pada kasus yang telah ada ketetapan hukumnya dalam kitab fiqih (mulḥāq bih) karena adanya persamaan sifat (wajh al-ilḥāq) antara keduanya.”

Metode ilḥāq dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyās, karenanya dapat juga dinamakan qiyāsiy versi NU. Ada perbedaan antara qiyās dan ilḥāq, yaitu kalau qiyās adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur`an dan al-Hadits. Sedangkan ilḥāq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan teks suatu kitab (mu’tabar). Apakah hal itu diperbolehkan atau tidak, lantaran adanya kemungkinan ilḥāq terjadi terhadap qiyās manakala teks suatu kitab itu ternyata hasil qiyās, memang masih terjadi perdebatan. Akan tetapi ulama NU berketepatan demikian tentunya dengan pertimbangan sejauh mungkin menghindari ilḥāq terhadap teks suatu kitab yang merupakan hasil produk qiyās.38

Penerapan metode Ilḥāq dalam Bahtsul Masa’il didalam penetapan hukum, terdapat tiga variasi yang digunakan:

  1. Penerapan ilḥāq dengan tanpa menyebutkan al-qawā‘id al-fiqhiyāh yang memayungi kasus baru (mulḥāq) dan kasus lama yang telah diketahui hukumnya dalam kitab fiqh (mulḥāq bih).
    1. Penerapan ilḥāq disertai dengan penyebutan mulḥāq bih dan qawā‘id al-fiqhiyāh.
    1. Penerapan ilḥāq, hanya dengan menyebutkan ilḥāq.

Untuk memahami penerapan metode ilḥāq dalam menjawab persoalan yang tidak memiliki ketetapan hukum didalam kitab-kitab fikih, berikut penulis contohkan:

Kebolehan melakukan penggusuran tanah rakyat untuk pembangunan jalan raya, dengan syarat tanah tersebut dimanfaatkan pemerintah untuk kepentingan umum yang dibenarkan oleh syara’ dan dengan ganti rugi yang memadai. Hal ini sebagaimana kebolehan melakukan penggusuran tanah guna kepentingan perluasan masjid.

المصلحة العامة مقدمة على  ” fiqih kaidah pada didasarkan tersebut Keputusan

الخاصة  المصلحة”  (al-maṣlahatu  al-‘āmmah  muqaddamah  ‘alā  al-maṣlaḥati  al-

khaṣṣah) [kemaslahatan umum itu didahulukan daripada kemaslahatan yang bersifat pribadi].

Dalam keputusan hukum di atas, dapat dijelaskan perinciaan prosedur ilhāq nya sebagai berikut:

  1. Kasus baru yang hendak dicari ketentuan hukum (mulfiaq) nya adalah penggusuran tanah rakyat untuk pembangunan jalan raya dan yang lain;
    1. Kasus lama yang sudah diketahui ketentuan hukumnya (mulfiaq bih) adalah penggusuran tanah untuk perluasan masjid.
    1. Kesamaan sifat (wajh al-ilḥāq) baik pada mulfiaq maupun mulfiaq bih

adalah adanya al-maṣalih ‘ammah.

3.   Metode Manhājī

Dalam hal ketika tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan metode ilḥāq terhadap persoalan yang dihadapi, karena tidak adanya mulfiaq bih dan wajh al-ilhāq (sisi persamaan sifatnya) sama sekali di dalam kitab, maka dilakukan dengan menggunakan metode manhājī, yaitu suatu cara untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab. Metode terakhir ini sebenarnya merupakan upaya memutuskan hukum dengan langsung kembali al-Qur‘an, al-Hadits dan seterusnya dengan menggunakan alat bantu qawāid uṣūliyyah dan qawāid fiqhiyyah.39

Metode Manhājī ini dapat dikembangkan dengan cara ijtihad jama‘i yaitu usaha keras dari beberapa para ahli dalam bidang masing-masing secara maksimal dalam menggali hukum syar‘i yang bersifat ẓanni dengan melalui metode istinbāṭ. Serta keputusan tersebut atas dasar kesepakatan para ulama tersebut atau secara aklamasi yakni mengambil suara terbanyak dari hasil musyawarahnya.Namun penggunaan metode manhājī tersebut terdapat koridor- koridor tertentu dalam penerapannya, sebagaimana yang ditetapkan dari hasil keputusan halaqah yang digelar di Pondok Pesantren Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang, menyebutkan, bahwa warga NU dalam bermadzhab, baik secara Manhājī maupun Qauli harus dilakukan dalam ruang lingkup madzhab yang empat, yaitu madzhab Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal.41

Menurut KH. MA Sahal Mahfudh, bahwa kaidah-kaidah pengambilan hukum yan dirumuskan ulama terdahulu masih relevan hingga kini. Oleh sebab itu yang perlu dilakukan adalah pengembangan fiqh melalui kaidah-kaidah yang sudah ada tersebut, menuju fiqh yang kontekstual. Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya perkembangan secara konseptual terkait dengan metode yang digulirkan oleh ulama reformis di kalangan NU.42

Dengan kenyataan di atas, peranan bermadzhab manhājī43 sangat dibutuhkan demi merespon persoalan-persoalan yang terus berkembang di luar teks. Meskipun bermadzhab model ini tidak semua orang bisa. sebab perangkat metologi istinbat hukumnya harus benar-benar dikuasai

KESIMPULAN

Forum Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama secara geneologi masih memiliki keterikatan dengan metode halaqah yang digunakan para syekh di Makkah dan Madinah. Hal ini karena para pendiri NU sendiri secara geneologi keilmuan masih memiliki keterikatan sanad keilmuan dengan mereka, dan merupakan alumni Makkah dan Madinah. Oleh sebab itu, metode tersebut turut diserap dan digunakan di pesantren-pesantren jauh sebelum NU berdiri sebagai sebuah organisasi keagamaan.

Pemahaman istinbāṭ yang didefinisikan dan dioperasionalkan dalam Bathsul Masa’il NU berbeda dengan konsep istinbāṭ dalam keilmuan ushul fiqh. Hal ini karena, bagi NU istinbāṭ dalam definisinya yang umum masih dalam kerangka ijtihad, dimana secara persyaratan-persyaratan yang tercakup didalamnya tidak mampu untuk dipenuhi. Oleh sebab itu, ketidak terpenuhinya persyaratan tersebut membuat NU hanya “berani” melakukan istinbāṭ dalam konteks mażhab, baik terkait qawl para ulama mażhab maupun secara metodologi yang terumuskan. Metodologi istinbāṭ Bahtsul Masail NU secara berjenjang dilakukan sebagai berikut: Pertama, metode qawli yakni mencari jawabannya pada kitab-kitab mazhab yang empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Kedua, metode ilḥāq menetapkan hukum suatu persoalan yang belum dijelaskan ketetapannya didalam kitab-kitab fiqih (mulḥāq ilayh) dengan cara menyamakannya pada kasus yang telah ada ketetapan hukumnya dalam kitab fiqih (mulḥāq bih) karena adanya persamaan sifat (wajh al-ilḥāq) antara keduanya. Ketiga, metode manhājī yakni upaya memutuskan hukum dengan langsung kembali al-Qur‘an, al-Hadits dan seterusnya dengan menggunakan alat bantu qawāid uṣūliyyah dan qawāid fiqhiyyah

DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku

‘Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Al-Syarif. Kitāb al-Ta’rifat. Beirut: Dar al- Kutub al- ‘Ilmiyyah.

Aziz Dahlan, Abdul. Ensiklopedi Hukum Islam Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

cet. Ke-6. Jakarta: LP3ES, 1994.

Efendi M. Zein, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2005.

Faisol, Muhammad. Metodologi Istinbath Hukum. Jember: STAIN Jember Press, 2013.

Haidar, M. Ali. Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih Dalam Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Hamim, Toha. Islam dan NU Dibawah Tekanan Problematika Kontemporer.

Surabaya: Diantama, 2004.

Iqbal, Muhammad. Hukum Islam Indonesia Modern: Dinamika Pemikiran dari Fikih Klasik ke Fikih Indonesia. Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009.

Mahfudz, KH. Sahal. “Tradisi Pendidikan Pesantren: Tinjauan Historis”. Dalam dalam Ismail SM dan Abdul Mukti. Pendidikan Islam, Demokrasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Mahfuzh, KH. M.A Sahal. “Pengantar”, Ahkamul Fuqaha (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Kombes Nahdhat al-Ulama (1926-1999), terj. M. Djamaluddin Miri. Surabaya: Penerbit Diantama, 2004.

Masyhuri, KH. A. Aziz. Masalah Keagamaan NU. Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press.

Mubarok, Jaih. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press, 2002. Muhammad, Husein. “Tradisi Isinbat Hukum NU: Sebuah Kritik”, dalam

M. Imdadun Rahmat (ed), Kritik Nalar Fiqih NU: Transformasi Paradigma Baḥṭ al- Masā’il. Jakarta: LAKPESDAM NU, 2002.

Munawar-Rachman, Budhy (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.

Jakarta: Paramadina, 1995.

PBNU, LTN. Aḥkām al-Fuqāhā; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdhatul Ulama 1926-2010. Surabaya: Khalista dan Lajnah Ta’lif Wa Al- Nashr, 2011.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos, 1999.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: Wahid Institute, 2011.

Warson                  Munawwir,       Ahmad.      al-Munawwir:        Kamus     Arab-Indonesia.

Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Yahya, Imam. Dinamika Ijtihad NU. Semarang: Walisongo Press, 2009. Zahro, Ahmad. Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999: Tradisi Intelektual NU.

Yogyakarta: LKiS, 2004.

B.   Jurnal Ilmiah

Jamal dan Muhammad Abdul Aziz, Mulyono. “Metodologi Istinbath Muhammadiyah dan NU:(Kajian Perbandingan Majelis Tarjih dan Lajnah Bahtsul Masail)”, Ijtihad: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam 7: 2 (Desember 2013), 83-202.

Kaptein and Michael Laffan, Nico J. G. “Theme Issue: Fatwās In Indonesia”,

Journal Islamic Law and Society, 12: 1 (2005).

Mutaki, Ali. “Kitab Kuning Dantradisi Intelektual Nahdlatul Ulama (NU)Dalam Penentuan Hukum (Menelisik Tradisi Riset Kitab Kuning)”. Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 18: 2 (Desember 2018), 192-210.

Qurotul Aini, Siti Maryam. “Pemikiran Fiqh Ahmad Zahro Tentang Istinbāṭ Manhajī Sebagai Metode Perumusan Hukum Islam”, Islamica: Jurnal Studi KeIslaman, 11: 1 (September 2016), 159-

187.

Samsudin, Mohamad. “Pola Pendidikan Pesantren Tradisional Dan Modern”, Jurnal Al-Ashriyyah 6: 1 (Mei2020), 55-72.

Syafi’i, Imam. “Transformasi Madzhab Qouli Menuju Madzhab Manhājī Jama`Iy Ama`Iy Dalam Bahtsul Masa’il”, Asy-Syari’ah, 4: 1 (Januari 2018), 19-29.

  

Komentar