oleh

RM Notonegoro Bicara Soal Agèman Ndalem Samir Sakral Nogo Pradito Ngayogyakarta Hadiningrat

ATRIBUT lain yang dikenakan oleh Abdi Dalem berupa kain seperti kalung yang disebut samir. Samir merupakan penanda apabila Abdi Dalem sedang menerima ayahan (tugas) dari raja. Pemakaiannya adalah dikalungkan di bagian leher hingga dada. Ketika sedang tidak digunakan, samir senantiasa diselipkan di bagian perut kanan.

            “Pada intinya, bahwa Samir merupakan kelengkapan busana Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Berbentuk menyerupai pita atau selempang kecil dengan hiasan gombyok di kedua sisi. Sekilas samir hanya berfungsi sebagai aksesori semata, namun samir merupakan kelengkapan yang sangat penting dan tidak sembarang orang boleh memakainya.” RM Notonegoro dari TEPAS DARAH DALEM Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada LINTAS PENA di kediamannya Pracimasana Yogyakarta.

Kalau di Keraton Yogyakarta, samir adalah tanda, bahwa Abdi Dalem yang memakainya sedang menjalankan tugas, atau disebut ayahan. Tugas itu dapat berupa tugas di dalam lingkungan keraton seperti membawa pusaka, membawa makanan untuk Sultan, memberi sesaji, menabuh gamelan, ataupun ketika mengajar dalam forum resmi keraton. Juga ketika menjalankan tugas di luar lingkungan keraton, seperti menjadi utusan dalam upacara Labuhan atau Garebeg.”Selain sebagai tanda tugas, samir juga menunjukkan perbedaan dalam jenjang kepangkatan Abdi Dalem. Samir dibedakan berdasar pangkat yang dimiliki Abdi Dalem yang mengenakannya.”tutur dia

RM Notonegoro menjelaskan, ada yang mengatakan bahwa sebelum bahan tekstil mudah ditemui, yang menandakan seseorang sedang melaksanakan tugas resmi adalah kalung janur kuning. Pasca Perjanjian Giyanti, gaya samir pun dibedakan antara Yogyakarta dan Surakarta.Bagi Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta samir juga berfungsi untuk menerangkan pangkat dan kedudukan.

Bahan dasar samir adalah kain cindhe motif putih hitam dengan dasar warna merah, atau sering disebut cindhe bang-bangan. Kain cindhe, disebut juga cindai atau patola, merupakan nama kain sutra dibuat menggunakan teknik tenun ikat ganda. Kain patola mulai dikenal di Nusantara sekitar abad 15. Kain ini berasal dari Gujarat, India. Karena nilainya yang sangat tinggi, patola kemudian ditiru di sepanjang nusantara, baik dari segi teknik pembuatan maupun motifnya. “Kain cindhe yang sekarang digunakan sebagai samir di Keraton Yogyakarta hanyalah kain yang bermotif cindhe saja, tidak mengacu pada bahan maupun teknik pembuatannya. Motifnya berdasar motif kain cindhe yang berasal dari daratan Tiongkok.”ungkap RM Notonegoro

Berdasar surat edaran yang dikeluarkan oleh Kawedanan Parentah Hageng berangka 79/PHK/1992 yang mengatur pemakaian samir bagi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, kain cindhe yang digunakan untuk samir memiliki panjang 66 cm dan lebar 5,5 cm. Bagian sampingnya diberi plisir dan ujungnya diberi rumbai-rumbai berupa gombyokmonte. Sebuah plat logam dengan lebar satu jari dan tambahan berupa lambang keraton (HABA) diberikan di antara kain dan rumbai.

Warna plisir, rumbai-rumbai, dan plat logam berbeda-beda tergantung pangkat pengguna samir tersebut.

  • Abdi Dalem dengan pangkat Jajar, menggunakan samir dengan gombyok monte warna putih, plat logam dengan blok HABA warna putih, dan plisir warna putih.
  •  Abdi Dalem dengan pangkat Bekel Enom, menggunakan samir dengan gombyok monte warna biru muda, plat logam dengan blok HABA warna putih, dan plisir warna putih.
  • Abdi Dalem dengan pangkat Bekel Sepuh, menggunakan samir dengan gombyok monte warna biru tua, plat logam dengan blok HABA warna putih, dan plisir warna putih.
  • Abdi Dalem dengan pangkat Lurah/Panewu, menggunakan samir dengan gombyok monte warna merah, plat logam dengan blok HABA warna putih, dan plisir warna putih.
  • Abdi Dalem dengan pangkat Wedana, menggunakan samir dengan gombyok monte warna hijau tua, plat logam dengan blok HABA warna putih, dan plisir warna putih.
  • Abdi Dalem dengan pangkat Riya Bupati Anem ke atas, menggunakan samir dengan gombyok monte warna kuning, plat logam dengan blok HABA warna kuning, dan plisir warna kuning.

RM Notonegoro mengatakan, bahwa aturan tersebut ditandatangani oleh KGPH Benowo selaku Penghageng Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta pada tanggal 6 Rejeb Jimawal 1925, atau 31 Desember 1992.

“Pada umumnya samir dikenakan dengan cara dikalungkan pada leher dengan kedua ujung bertemu di dada. Namun pada busana Manggung Putri, yaitu para pembawa kelengkapan upacara yang mengiringi Sultan saat duduk di takhta, samir dikenakan dengan cara melilitkannya pada leher. Saat tidak dikenakan, seperti saat Abdi Dalembaru saja menyelesaikan tugas dari Sultan, samir akan diselipkan pada bagian pinggang bagian kanan. Samir dipenggunakan kalung sebagai penanda tugas telah dapat ditemui sejak dalam kisah pewayangan. Dalam kisah Mahabharata, tepatnya dalam perang Bharatayudha, ksatria yang mendapat tugas menjadi panglima perang atau senapati akan mengenakan kalung dari untaian bunga. Tanda ini berlaku bagi kedua belah pihak yang bertempur, baik Pandawa maupun Kurawa.”paparnya

Seperti dalam pemerintahan modern, menurut RM Notonegoro Malwo PATI,  terdapat jenjang kepangkatan dalam struktur organisasi Abdi Dalem. Setelah melalui proses magang selama dua tahun seorang calon Abdi Dalem akan diwisuda menjadi Abdi Dalem. Jenjang kepangkatan Abdi Dalem berurutan dari bawah adalah sebagai berikut: Jajar , Bekel Anom, Bekel Sepuh  ,  Lurah , Penewu ,Wedono ,Riya Bupati ,Bupati Anom ,Bupati Sepuh ,Bupati Kliwon ,Bupati Nayoko dan Pangeran Sentana

Kenaikan jenjang karir seorang Abdi Dalem berbeda antara Abdi Dalem Tepas dan Abdi Dalem Caos. Abdi Dalem Tepas merupakan Abdi Dalem yang setiap hari memiliki kewajiban untuk berkantor di keraton. Kenaikan pangkat reguler dari seorang Abdi Dalem Tepas dapat diajukan setiap 3 tahun.

Sementara itu, kenaikan pangkat yang diterima oleh Abdi Dalem Caos dapat diajukan setiap 4-5 tahun sekali. Abdi Dalem Caos merupakan Abdi Dalem yang tidak mempunyai kewajiban untuk masuk setiap hari. Abdi Dalem Caos hanya masuk pada periode waktu tertentu. Kenaikan pangkat seorang Abdi Dalem dikelola oleh Parentah Hageng. Parentah Hageng mempunyai kewenangan untuk mengangkat, menaikkan pangkat dan mempensiunkan Abdi Dalem. Setiap Abdi Dalem akan mendapatkan Asma Paring Dalem (nama Abdi Dalem), Pangkat, dan Penugasan yang tertuang di dalam Serat Kekancingan (SK) yang dikeluarkan oleh Parentah Hageng.

Syarat Kenaikan Pangkat Abdi Dalem

Terdapat beberapa aspek penilaian yang dapat mempengaruhi jenjang kenaikan pangkat seorang Abdi Dalem. Penilaian ini meliputi rajin atau tidaknya Abdi Dalem untuk sowan ke keraton, memiliki konduite yang baik, dan rajin dalam melaksanakan tugasnya. Bukan tidak mungkin seorang Abdi Dalem dapat ditunda kenaikan jabatannya jika tidak menjalankan tugas dengan baik dan jarang sowan ke keraton.

Selain kenaikan pangkat regular setiap 3 atau 4 tahun sekali, seorang Abdi Dalem yang memiliki latar belakang pendidikan dan keahlian tertentu bisa mendapatkan kenaikan pangkat setiap tahun. Kenaikan tiap tahun ini dapat diperoleh hingga menjadi wedono. Setelah mencapai wedono, Abdi Dalem tersebut akan mengikuti jenjang kenaikan pangkat reguler layaknya Abdi Dalem yang lain.

Bupati Kliwon merupakan jabatan yang paling tinggi yang dapat diperoleh secara reguler oleh setiap Abdi Dalem. Selain kenaikan pangkat yang bersifat reguler, ada juga kenaikan yang bersifat khusus. Kenaikan khusus ini atas perintah sultan. Jabatan tersebut adalah Bupati Nayaka dan Pangeran Sentana.

Seorang Abdi Dalem dapat diangkat menjadi Bupati Nayaka dan Pangeran Sentana hanya atas perkenan dari sultan. Tentunya kenaikan pangkat ini memiliki dasar pertimbangan. Salah satu pertimbangan tersebut adalah jasa-jasa dan prestasinya sebagai Abdi Dalem. Tidak menutup kemungkinan seorang Abdi Dalem memperoleh kenaikan jabatan khusus atas keputusan sultan.

Tanggung Jawab yang Menyertai Jabatan Abdi Dalem

Setiap kenaikan pangkat yang diperoleh seorang Abdi Dalem akan meningkatkan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. Abdi Dalem yang memiliki jabatan yang lebih tinggi pun harus bisa menjadi pimpinan bagi Abdi Dalem yang ada di bawahnya. Tentunya tugas yang diberikan ini akan disesuaikan dengan latar belakang pendidikan dan kecakapan dari Abdi Dalem tersebut. Penyesuaian ini bertujuan agar tatanan dan roda pemerintahan di dalam keraton tetap berjalan dengan baik.

“Walaupun telah memiliki pangkat yang tinggi, seorang Abdi Dalem tidak boleh semena-mena dengan mereka yang ada dibawahnya. Sopan santun, unggah-ungguh tetap harus dijunjung tinggi agar kondisi dan suasana di dalam keraton tetap nyaman. Sejatinya menjadi seorang Abdi Dalem bukan untuk mengejar kepangkatan atau materi. Menjadi Abdi Dalem adalah murni untuk mengabdikan diri sebagai penjaga budaya.”pungkas RM.Notonegoro. (REDI MULYADI)****

***CATATAN: Jika yang penasaran ingin mengetahui soal samir bisa menghubungi RM Notonegoro melalui kontak Tlp/WA: 0895-6064-81046

Komentar