oleh

Situasi Hukum Indonesia, Semakin Tidak Menentu

Oleh : KRH Aryo Gus Ripno Waluyo, SE, SP.d, S.H, C.NSP, C.CL, C.MP, C.MTh ( Budayawan, Penulis, Spiritualis, Advokat, Ketua DPD Jatim PERADI Perjuangan )

MASYARAKAT yang awam tentang hukum semakin dibingungkan dengan situasi hukum yang semakin tidak menentu, semakin tidak berkepastian sekaligus menjauh dari rasa keadilan, dan sarat dengan berbagai kepentingan di belakangnya. Wajar jika persepsi masyarakat terhadap hukum di Indonesia semakin negatif.

Peristiwa sebelum dan setelah putusan Mahkamah Konstitusi soal batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden semakin mempertegas kegelapan hukum yang tengah kita hadapi. Kegelapan yang dimaksud adalah situasi tanpa arah di mana nyaris tidak ada pegangan yang dapat dijadikan tumpuan oleh masyarakat dalam berhukum.

Pada akhirnya masyarakat terombang-ambil di tengah pertarungan logika-logika hukum yang saling beradu argumen untuk mempertahankan posisi atau kepentingan politik demi tahun 2024.

Hukum adalah penafsiran-penafsiran yang beragam sesuai dengan titik pijak masing-masing. Hukum dengan bebas dapat ditafsirkan mengikuti syahwat kepentingan si penafsir sesuai dengan warna politiknya.

Jika hukum secara teoritis dianggap sebagai produk politik, maka menjelang Pemilu 2024 ini hukum lebih terlihat sebagai alat kepentingan politik.

Penafsiran hukum ini, hukum rimbalah yang berfungsi. Yang kuat yang bertahan. Yang berkuasa yang menang. Akhirnya, penafsiran yang menang adalah penafsiran yang datang dari atau didukung oleh penguasa.

Sampai titik ini, kita dapat mengatakan selamat tinggal pada supremasi hukum. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum tinggal simbol belaka.

Pertanyaan pada sub pembahasan ini menjadi pertanyaan mendasar di tengah situasi hukum sebagaimana digambarkan di atas. Mungkinkah saat ini hukum bersifat objektif? Mungkinkan penafsiran yang datang dari penguasa sama potensi kemenangannya dengan penafsiran dari rakyat biasa?

Subjek dan objek dipandang sebagai sesuatu yang melebur menjadi satu sehingga objektivitas menjadi semu. Tidak ada yang objektif karena penilaian terhadap objek juga pasti dipengaruhi oleh subjek. Kabar baiknya, kesadaran akan kritisisme terhadap positivisme semakin meningkat.

Kondisi seperti itu jugalah yang saat ini dialami oleh dunia hukum. Hampir semua orang, hingga yang awam perkara hukum menilai bahwa terdapat konflik kepentingan ketika Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, yang memiliki hubungan kekerabatan dari Gibran Rakabuming Raka, dalam memutus perkara batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden.

 Namun dengan lantang Anwar Usman menafsirkan bahwa tidak ada kepentingan antara dirinya dengan perkara tersebut sebab menurutnya yang diadili oleh Mahkamah Konstitusi adalah norma, bukan orang.

Putusan MK tersebut juga beragam. Ada yang menilainya bagus, karena memberikan kesempatan bagi anak muda untuk memimpin negara. Ada yang menilainya buruk karena memuluskan upaya dinasti politik. Ada yang melihat negatif karena lahir dari kecacatan konflik kepentingan. Ada yang melihat bagus, tapi waktu putusannya yang tidak tepat. Dan, beragam penafsiran bebas lainnya.

Seolah tidak ada lagi objektivitas dalam hukum. Hukum sesuai dengan selera si penafsir. Ketika si penafsir berada dalam lingkaran kekuasaan, maka dialah yang keluar sebagai pemenang. Namun untungnya, di saat bersamaan, publik memiliki logika penafsiran sendiri soal hukum.

Mereka dengan bebas dapat mencurahkan berbagai penafsiran yang dimiliki melalui kanal-kanal media sosial. Jika penguasa bebas menafsirkan hukum sesuai seleranya, maka publik juga bebas berkomentar berdasarkan kegundahan mereka. Sehingga pada akhirnya publik dapat sendiri, nalar hukum mana yang sekiranya dapat diterima khalayak.

Kebenaran akan tampak dengan sendirinya. namun diyakini bahwa penafsiran yang benar suatu saat nanti akan terlihat dengan sendirinya. Pepatah yang mengatakan, “Biarlah waktu yang bicara,” bisa jadi terkait erat dengan pengungkapan kebenaran.

Usai diadili oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), tersingkap bahwa penafsiran yang digunakan oleh Anwar Usman soal konflik kepentingan dirinya dalam putusan MK tersebut tidak tepat. Ia pun akhirnya dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, meskipun sangat disayangkan mengapa tidak dicopot sekalian dari hakim Mahkamah Konstitusi.

Banyak pelajaran penting soal berhukum dari kasus putusan MK tersebut, khususnya terkait dengan penafsiran atas hukum dengan segala relativitasnya. Jika penafsiran memang selalu bersifat relatif, namun perkara baik dan buruk tetap ada pedomannya. Manusia tetap mampu menilai mana yang baik dan buruk dalam hukum.

Belajar dari kontroversi putusan MK tersebut, ke depan sebaiknya benar-benar ditimbang kebaikan (maslahat) dan keburukan (mudarat) sebelum memutuskan suatu hukum. Bahkan meskipun putusan itu mengandung kemaslahatan, tetapi dalam untuk mencapainya itu menimbulkan kemudaratan, maka sebaiknya hukum tersebut tidak ditetapkan. Sebab mencegah keburukan lebih utama dari mengambil kemaslahatan.

Termasuk dalam kategori keburukan adalah fitnah dan kegaduhan yang muncul di tengah masyarakat. Putusan-putusan hukum yang mengundang kegaduhan di masyarakat dapat dikategorikan ke dalam putusan buruk. Lebih-lebih putusan yang hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu saja, tapi mengorbankan banyak kepentingan orang lain. Karenanya, suatu kaidah hukum mengatakan bahwa menutup fitnah hukumnya adalah wajib.

Sesungguhnya masih terdapat secercah harapan di tengah ancaman serius terhadap objektivitas hukum. Relativitas penafsiran hukum bukan sesuatu yang harus ditakuti secara berlebihan, karena ia tetap menyisakan ruang untuk mengungkap kebaikan dan keburukan dari hukum..(****

Komentar