Oleh: Nana Suryana
(Dosen IAILM Suryalaya Tasikmalaya)
BEBERAPA waktu yang lalu media sosial diramaikan dengan viralnya video salah seorang orang tua santri yang memarahi seorang pimpinan sebuah Pondok Pesantren di kota Riau. Tindakan orang tua santri tersebut dipicu karena dia tidak terima anaknya dikeluarkan dari Pondok Pesantren. Menurut keterangan salah seorang pimpinan pondok tindakan mengeluarkan santri tersebut didasarkan pada aturan pondok pesantren yang sejak awal telah disepakati serta ditandatangai semua wali dan santri. “Barang siapa santri yang melanggar aturan pondok maka dia bersedia menerima sangsi dari pondok pesantren”, demikian kurang lebih salah satu kesepakatan pihak pondok dengan santri dan wali santri.
Kejadian tersebut memicu beragam komentar dari para Netizen. Ada dua hal yang menjadi sorotan Netizen. Komentar pertama perihal sikap, prilaku dan karakter pimpinan pondok. Menurut para Netizen sikap pimpinan pondok yang tidak melawan dan bahkan “diam” menunjukan karakter (akhlak) sang kyai yang memiliki sifat “hilm”. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ilmu itu diperoleh hanya dengan belajar dan sifat al-hilm hanya diperoleh dengan cara berusaha.”
(Diriwayatkan oleh Al-Khathib, dinilai hasan oleh Al-Albani). Sifat al-hilm (kelembutan) hanya dimiliki oleh orang yang memenuhi dua syarat yaitu kemampuan akal yang luas, dan kebesaran jiwa. (https://muslimah.or.id/5379-hiasi-akhlak-dengan-kelembutan-al-hilm.html). Itulah sikap yang dicontohkan rasulullah Saw.
Komentar kedua berbanding terbaik, sikap dan perilaku orang tua santri yang dengan kasar, lantang memarahi sang kyai yang semestinya dihormati, dihargai, dan dimuliakan. Menurut Netizen bagaimana seorang anak bisa memiliki sikap, perilaku, dan karakter yang baik ketika orang tua tidak memiliki sikap, perilaku, dan karakter yang baik. Sebab bagi seorang anak orang tua adalah figur utama yang akan menjadi contoh dalam berbagai hal. “Delapan puluh lima prosen anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu hidupanya dengan lingkungan keluaraga (orang tua, kakek/nenek, dan pembantu) atau siap pun yang menghabiskan waktu lebih banyak dalam pengasuhan anak”, demikian Munif, pengarang buku Orangtuanya Manusia. Pendapat ini pula yang menguatkan pendapat bahwa karakter seorang anak akan sangat dipengharuhi secara signifikan oleh orang-orang terdekat termasuk orang tua. “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani” (Al-Hadits).
Dalam perspektif Islam anak bisa menjadi cobaan, perhiasan dunia, penyejuk hati, dan musuh bagi orang tua. Lihat dalam QS. Al Anfaal 8 : 28, ”Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai Cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Q.S. Al Kahfi 18 : 46, Ziinatun hayat (perhiasan dunia) artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Qurrota A’yun (penyejuk hati). (QS Al-Furqaan 25 : 74). Artinya : “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. ‘Aduwwun (musuh). Inilah yang paling dikuatirkan setiap orang tua (QS. At- Taghaabun 64 : 14), “Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Anak bisa memiliki karakter yang baik dan menjadi penyejuk hati (Qurrota A’yun) bagi orang tua sangat bergantung pada bagaimana orang tua mampu berperan dan tanggung jawab secara maksimal terhadap anak – teruatama menanamkan sikap dan karakter yang kepada anak. Rumah adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak. Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Menjadi orang tua yang mampu memainkan peran secara maksimal memang bukan perkara mudah. Untuk menjadi guru ada sekolahnya, mau jadi dokter ada sekolahnya, mau jadi pebisnis ada sekolahnya, tetapi menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Tapi yakinlah ketika kita menjadi orang tua dengan baik, maka itulah sebuah pekerjaan yang bernilai pengabdian dan perjuangan mulia dalam melaksanakan rencana-rencana Allah (khalifahtul Allah) terutama menumbuhkembangkan firah ilahiah (ketuhanan) yang telah Allah berikan kepada setiap manusia sejak alam arwah. Yakinlah bahwa karakter orang tua adalah karakter anak juga. Wallahu ‘alam.
Komentar