oleh

Bangsa Indonesia Berduka, Cendekiawan Muslim Buya Syafii Maarif Tutup Usia

BANGSA Indonesia berduka. Cendekiawan Muslim yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr H. Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii Maarif meninggal dunia.Buya Syafii meninggal pada Jumat pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Jumat.

Haedar Nashir mengungkap cerita bagaimana perjuangannya untuk bisa mendampingi koleganya, Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii yang sedang kritis. Buya Syafii meninggal akibat serangan jantung.”Saya sebenarnya sedang perjalanan ke Bandung pagi ini, namun baru sampai Klaten saya mendengar beliau kondisinya kritis jadi langsung putar kendaraan (ke arah Yogya),” kata Haedar, Jumat 27 Mei 2022.

Haedar pun berhasil sampai RS PKU Muhammadiyah Gamping dan berada di sisi koleganya itu 30 menit sebelum Buya wafat.”Tim dokter sudah bekerja sebaik mungkin memberi pertolongan, kita doakan Buya khusnul kotimah,” kata Haedar.

“Buya sosok yang tak pernah berhenti mengajak kita untuk menjadi negarawan sejati,” kata Haedar mengenang.

Haedar mengaku mengenal Buya tak hanya sebagai sosok yang lurus di dalam organisasi Muhammadiyah tapi juga di luar.”Buya orang yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika dan keadaban mulia, baik dalam internal Muhammadiyah, umat dan bangsa,” kata Haedar.

Selain dikenal sangat humanis, Haedar juga mengenal Buya sosok yang tak pernah menjaga jarak dengan orang orang tak berpangkat atau punya jabatan mentereng di sekitarnya”Buya sangat dekat dengan orang orang kecil, seperti satpam dan laimnya, siapapun yang perlu perhatian,” kata dia.

Pemikiran Buya Syafii, kata Haedar tak sekedar maju dan menguasai banyak ilmu. Tapi yang terpenting bahwa wawasan Buya sangat inklusif.”Buya juga tak pernah berhenti mengajak elit bangsa untuk menjadi negarawan sejati,” kata dia.

Profil Singkat Buya Syafii Maarif

Buya Syafii wafat pada usia 86 tahun. Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935 di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau. Ayahnya adalah kepala suku dan saudagar bernama Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu. Sementara ibunya, Fathiyah wafat ketika Syafii baru berusia 18 bulan.

Saat masih kecil, Syafii Maarif bersekolah di Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan untuk belajar agama, dia mengambil dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah sepulang sekolah di SR. Syafii tamat dari SR pada 1947 tanpa ijazah karena saat itu masih terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Setelah usai menamatkan pealajran di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah, Lintau, Syafii yang saat itu berusia 19 tahun pada 1953 merantau ke Yogyakarta. Dirinya melanjutkan pendidikan ke Madrasah Muallimin Yogyakarta sampai tahun 1956. Di Muallimin, dia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar.

Menginjak usia 21 tahun, Syafii berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru di sebuah kampung bernama Pohgading sampai tahun 1957. Syafii lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Cokroaminoto, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP UNY, Universitas Ohio Amerika Serikat hingga Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Buya Syafii Maarif menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun dari 1998-2005. Syafii Maarif juga pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Selepas menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, dirinya aktif dalam komunitas Maarif Institute dan menjadi tokoh bangsa yang sering menyampaikan kritik secara objektif dan lugas baik melalui tulisan-tulisannya di berbagai media.

Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii Maarif mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’ yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).

Sebelum wafat, Buya Syafii masuk ke rumah sakit itu sejak Sabtu (14/5/2022) karena mengeluh sesak napas akibat jantung. Bahkan, pada awal Maret lalu, Buya Syafii juga sempat menjalani perawatan medis di RS PKU Gamping. Saat itu, Buya hampir dua pekan menjalani perawatan sampai kondisinya membaik dan diperkenankan untuk pulang.

Dikutip dari artikel berjudul Pemikiran Politik Negara dan Agama Ahmad Syafii Maarif yang terbit di Jurnal Politik Muda pada 2012, Buya Syafii memandang pola hubungan negara dan agama bukan hanya pola hubungan dikotomis yang saling meniadakan.

Buya Syafii Maarif Wafat, Begini Pemikiranya tentang Negara dan Agama

Islam bukan semata-mata ritual peribadatan hamba kepada Tuhannya, melainkan Islam juga mengatur kaidah-kaidah dan batas-batas dalam muamalah dan bersosial dalam masyarakat. Karena itu, harus ada negara atau kekuasaan politik yang melindungi dan menjaga aturan-aturan itu.

Wawasan kekuasaan dalam Islam haruslah disinari dengan wawasan moral. Sejarah telah menunjukkan, kekuasaan Islam dalam berbagai zaman di berbagai negara seringkali mengkhianati cita-cita politik Islam itu sendiri.

Menurut pemahaman Buya Syafii, Islam bukan hanya cita-cita moral dan nasehat-nasehat agama yang bisa lepas begitu saja. Tetapi, Islam memerlukan sarana untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.

Al-Qur’an telah menjelaskan seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, jika ada pemikir Muslim berpendapat sekuler atau Islam dan negara harus dipisahkan, menurut Buya Syafii, pendapat itu tidak memiliki landasan teoritis yang kuat.

Dalam pandangan Buya Syafii, tidak ada pemisahan antara negara dan agama berdasarkan Al-Qur’an. Q.S Al-An’am ayat 162 menegaskan “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup matiku, adalah untuk Allah, pemelihara alam semesta.”

Ayat ini menjelaskan, salat di masjid, jualan di pasar, atau pidato dalam parlemen tidak bisa ditempatkan dalam kategori dikotomis antara ibadah dan kerja sekuler. Salat di masjid adalah ibadah, sedangkan pidato dalam parlemen merupakan kerja sekuler yang harus berada di bawah wawasan moral dan etika Al-Qur’an.

Al-Qur’an juga banyak membicarakan tentang negara. Tetapi, Buya Syafii menolak pendapat Islam adalah negara (daulah) dan agama (din). Menurut dia, negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sedangkan agama merupakan sesuatu yang immutable (tetap) tidak lekang oleh ruang dan waktu.

Karena itu, Buya Syafii menolak gagasan tentang negara Islam. Menurut dia, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh. Hasil karya Nabi Muhammad SAW, Piagam Madinah, tidak menyingung masalah negara Islam sama sekali. Tidak heran Buya Syafii menganggap fenomena Negara Islam merupakan fenomena abad 20.

Posisi nabi Muhammad dalam Al-Qur’an adalah seorang rasul, meskipun tidak bisa dipungkiri ia pernah menjabat sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Kedudukan ini termaktub dalam Q.S Ali-Imron ayat 144 “Muhammad hanyalah seorang Rasul”.

Ayat inilah yang digunakan Buya Syafii untuk menolak statement Islam adalah agama dan negara. Menurut dia, statement ini akan mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa dan tidak pernah mendeklarasikan sistem dan bentuk pemerintahan baku dalam Islam. Ini menunjukkan Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang visioner dan paham masyarakat muslim adalah masyarakat yang dinamis dan pluralis.

Karena itu, sekalipun Buya Syafii menyerukan pentingnya negara dalam Islam, tetapi dia menolak pandangan yang mengatakan Islam adalah daulah dan din. (BERBAGAI SUMBER)

Komentar