oleh

Dinamika Loyalitas dalam Kabinet Prabowo: Antara Isu Matahari Kembar dan Stabilitas Pemerintahan

By Green Berryl & PexAI

PEMERINTAHAN Presiden Prabowo Subianto menghadapi ujian terkait konsolidasi loyalitas para menteri Kabinet Merah Putih. Isu “matahari kembar”—dua pusat kekuasaan dalam satu pemerintahan—menjadi sorotan setelah lima menteri berkunjung ke kediaman mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Surakarta pada 8-9 April 2025. Kunjungan ini, meski diklaim sebagai silaturahmi Lebaran, memicu spekulasi politik tentang loyalitas ganda dan potensi intervensi kekuatan lama dalam pemerintahan baru[1][2]. Tanggapan beragam muncul dari berbagai kalangan, mulai dari peringatan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga kritik dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Analisis pakar politik dan respons resmi pemerintah menggarisbawahi kompleksitas transisi kekuasaan pasca-10 tahun kepemimpinan Jokowi, serta tantangan menjaga stabilitas koalisi di tengah dinamika hubungan antara elit politik. 

Munculnya Isu Matahari Kembar Pasca-Kunjungan Menteri ke Solo 

# Pemicu Awal: Silaturahmi Lebaran dan Pernyataan Kontroversial

Lima menteri Kabinet Merah Putih—Sakti Wahyu Trenggono (Kelautan dan Perikanan), Budi Gunadi Sadikin (Kesehatan), Zulkifli Hasan (Menko Pangan), Bahlil Lahadalia (ESDM), dan Wihaji (Kependudukan)—datang secara bergiliran ke kediaman Jokowi di Solo saat Presiden Prabowo sedang melakukan kunjungan kerja ke Timur Tengah dan Turki[1][2]. Meski tujuan resminya adalah silaturahmi Idul Fitri, pernyataan publik dari dua menteri memantik kontroversi. Trenggono menyebut Jokowi sebagai “bos”-nya, sementara Budi Gunadi mengakui hubungan hierarkis serupa[1][4]. Istilah “bos” ini dianggap publik sebagai pengakuan terbuka tentang keberlanjutan pengaruh Jokowi, yang telah mengusung sebagian besar menteri tersebut selama masa pemerintahannya[2][9]. 

# Reaksi Publik dan Politisasi Isu

Pernyataan tersebut dengan cepat menjadi bahan perdebatan di media sosial dan pemberitaan. Politisi PKS Mardani Ali Sera menjadi yang pertama mengkritik, menyebut fenomena ini sebagai indikasi “matahari kembar” yang berpotensi memecah konsentrasi pemerintahan[1][4]. PDI-P, sebagai partai oposisi, ikut menanggapi melalui Ketua DPP-nya Ganjar Pranowo, yang menegaskan bahwa sistem presidensial tidak boleh memiliki dualisme kepemimpinan[1][3]. Istilah “gerhana matahari politik” kemudian dikemukakan oleh politisi PDI-P Mohamad Guntur Romli untuk menggambarkan risiko terhalangnya otoritas Prabowo oleh bayang-bayang Jokowi[1][2]. 

Respons Elite Politik dan Analisis Pakar 

# Peringatan dari Kalangan Internal dan Eksternal Koalisi

SBY, dalam retret kepala daerah di Akademi Militer Magelang (Februari 2025), telah lebih dulu mengingatkan bahaya matahari kembar sebagai pemicu kekacauan sistemik[1][2]. Meski tidak menyebut nama, pernyataannya relevan dengan situasi terkini. Dari dalam koalisi, Sekjen PAN Eko Hendro Purnomo membantah tuduhan loyalitas ganda dengan menekankan profesionalisme menteri dan komitmen mereka pada Presiden Prabowo[1][2]. Sementara itu, Jubir PKS Ahmad Mabruri berusaha meredam dengan menyatakan bahwa kritik Mardani hanyalah opini pribadi[5][6]. 

# Perspektif Akademis: Dualisme Loyalitas dan Dampaknya

Adi Prayitno dari Parameter Politik Indonesia menyatakan bahwa pengakuan menteri tentang “bos lain” telah mengubah isu matahari kembar dari sekadar rumor menjadi fakta politik[4][6]. Menurutnya, hal ini berisiko merusak kewibawaan Istana karena menciptakan persepsi adanya “pengarah kebijakan” di luar struktur resmi[1][4]. Lili Romli, peneliti BRIN, menambahkan bahwa dalam sistem presidensial, loyalitas menteri harus tunggal kepada presiden yang sedang menjabat. Penyimpangan dari prinsip ini dapat memicu distrust antarpartai koalisi dan mengganggu efektivitas pemerintahan[1][2]. 

Strategi Pemerintah dan Partai Koalisi Menghadapi Kontroversi 

# Bantahan Resmi dan Upaya Normalisasi

Staf Khusus Menkes Rendi Witular menjelaskan bahwa kunjungan Budi Gunadi ke Solo merupakan bagian dari tradisi silaturahmi ke mantan atasan, termasuk Megawati Soekarnoputri dan SBY[1][2]. Ia menegaskan bahwa sebutan “bos” terhadap Jokowi hanyalah selip lidah tanpa pretensi politik[1][9]. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani juga menepis kekhawatiran, menyatakan bahwa seluruh menteri tetap berkomitmen pada Prabowo dan kunjungan ke Solo murni sebagai bentuk penghormatan[6][8]. Partai Golkar melalui Wakil Ketua Umum Idrus Marham menyebut isu ini sebagai upaya provokasi dari pihak yang ingin memecah belah[7][8]. 

# Sikap Prabowo: Antara Ketegasan dan Diplomasi

Presiden Prabowo sendiri, melalui pernyataan resmi Sekjen Gerindra, menyatakan tidak terganggu dengan isu tersebut. Ia justru menghargai tradisi silaturahmi Lebaran sebagai bagian dari budaya politik Indonesia[6][7]. Namun, analis menilai ketiadaan teguran resmi dari Istana dapat diinterpretasikan sebagai bentuk penerimaan terhadap keberlanjutan pengaruh Jokowi, terutama mengingat peran krusialnya dalam mengamankan dukungan politik untuk Prabowo selama Pilpres 2024[4][9]. 

Implikasi terhadap Stabilitas Koalisi dan Tata Kelola Pemerintahan 

# Risiko Distrust Antarpartai Pendukung

Meski partai koalisi seperti PAN dan Golkar berusaha meredam, Lili Romli mengingatkan bahwa isu ini berpotensi memicu saling curiga antarpartai pendukung pemerintah[1][2]. Koalisi besar yang terdiri dari Gerindra, Golkar, PAN, dan partai pendukung Jokowi (seperti PSI) rentan terhadap friksi jika isu loyalitas tidak segera diselesaikan[3][5]. Khususnya, ketegangan antara kader partai lama (yang setia pada Prabowo) dengan menteri hasil rekrutmen Jokowi dapat mengganggu koordinasi kebijakan[4][6]. 

# Dampak pada Kinerja Birokrasi dan Kebijakan Publik 

Fenomena ini berpotensi menciptakan dualisme arahan dalam birokrasi. Menteri yang dianggap memiliki “bos ganda” mungkin menghadapi konflik kepentingan saat menjalankan program prioritas pemerintah. Sebagai contoh, kebijakan di sektor kelautan (yang di bawah Trenggono) atau kesehatan (di bawah Budi Gunadi) bisa dinilai publik sebagai hasil kompromi antara kepentingan Prabowo dan Jokowi[1][9]. Selain itu, isu ini dapat mengalihkan fokus pemerintah dari agenda strategis seperti penguatan ekonomi dan penanganan konflik global[2][7]. 

Kesimpulan dan Rekomendasi 

Isu matahari kembar dalam pemerintahan Prabowo mencerminkan dinamika transisi kekuasaan pasca-era Jokowi yang belum sepenuhnya tuntas. Meski secara formal para menteri telah menyatakan komitmen pada Presiden petahana, warisan politik Jokowi masih membayangi melalui jaringan menteri dan elit yang pernah bekerja di bawahnya. Untuk mencegah eskalasi, diperlukan langkah-langkah: 

  • 1. Klarifikasi Standar Loyalitas: Istana perlu merumuskan pedoman etik yang menjamin loyalitas tunggal menteri, termasuk mekanisme teguran bagi pelanggar. 
  • 2. Konsolidasi Koalisi: Partai pendukung pemerintah harus menggelar forum komunikasi rutin untuk meminimalkan misinterpretasi dan saling curiga. 
  • 3. Transparansi Kebijakan: Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi program prioritas untuk mengalihkan perhatian publik dari isu politis ke substansi pembangunan. 

Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintahan Prabowo dapat memperkuat legitimasi sekaligus memastikan stabilitas koalisi dalam menghadapi tantangan nasional dan global.

KUTIPAN:

Komentar